Minggu, 31 Juli 2016

Rumah Juli

Belakangan ini, rumah Pak Atma sedang ramai. Keramaian yang membuat para tetangga bertanya-tanya. Sebab, selama hampir tujuh puluh tahun menginjak rumah tua itu, tak pernah Pak Atma terlihat dikunjungi keluarga dan sanak saudara. Nyawanya tumbuh sendiri, bersama hari-hari sepinya di rumah yang penuh pohon buah itu. Namun, beberapa hari ini meski tak ada mobil di depan, tak ada wujud manusia keluar-masuk atau sekedar duduk di teras, tetiba terdengar riuh orang berbincang-bincang di dalam. Pagar masih selalu terkunci, daun-daun kering dibiarkan gugur di halaman dan belum tersapu. Para tetangga menyangsikan, jangan-jangan lelaki temperamen yang menggunakan tongkat kayu sebagai kaki ketiganya itu terlibat dalam sindikat teroris atau pengedar ganja. Tak ada satupun orang yang berani mencari tahu apa yang sedang dilakukan Pak Atma bersama tamu-tamunya di dalam. Pintu dan jendelanya tertutup rapat. Diingat-ingat, sejak hari itu, tiga puluh satu juli dua ribu lima belas.
***
“Bakar saja kalau tak mau jaga!” pria tua yang temperamen itu lantas membanting rolling door abu-abu yang karatnya mulai hidup di sana-sini, turut mengupas esensi kehadiran cat berwana kuning yang melafalkan “Rumah Juli”.
Siang yang begitu terik, sampai dari kejauhan terlihat bias panas aspal mengawang di sepanjang jalan. Beberapa tetangga yang sedang asyik minum kopi di warung Yu Narti—seberang rumah Pak Atma—tampak tak peduli karena sudah terbiasa dengan adegan marah-marah yang kerapkali diulang-ulang Pak Atma ketika mempermalukan pegawai-pegawainya yang belum ada seminggu bekerja itu. Berbeda dengan tetangga Pak Atma yang lain—yang ibu-ibu. Mereka memilih melirik-lirik ketus sambil berbisik ke telinga kanan tetangga satu, dan menyambung bisik ke telinga kiri tetangga lainnya.
Bocah lelaki yang kurus kering dan kudengar usianya masih empat belas tahun itu, hanya menunduk dan diam saja sambil meremas koran hari ini yang dipegangnya sedari tadi. Dengan sigap, Pak Atma meraih lembaran media cetak itu dari tangan si bocah dan menghempaskannya keras menabrak ke arah rolling door yang baru saja dihentaknya. “Selalu seperti ini kalau harta bendaku kuserahkan ke jongos yang putus sekolah sepertimu! Tak tahu cara merawat barang penting!” teriaknya sekali lagi. Kata-kata yang keterlaluan itu, adalah kalimat terakhir yang mengiringi si bocah pergi dengan tangis yang hendak pecah dan rasa malu yang tak akan pernah ia lupa hingga dewasa nanti. Dan ternyata, kalimat itu pula yang menjadi penutup segala drama antara Pak Atma dan pegawai-pegawai yang silih berganti mengadu nasib di Rumah Juli. Tak ada yang menyangka, itulah kali terakhir kami menyaksikan pertengkaran dan amarah Pak Atma—setidaknya, hingga hari ini, tiga puluh satu juli dua ribu enam belas.
***
Kira-kira, dua minggu lamanya setelah terakhir kali kulihat amarah Pak Atma meledak-ledak sambil tertatih memasuki rumahnya dan mengunci rapat pintu serta jendelanya, aku mulai terusik dengan ketidakhadiran beliau pada hari-hari berikutnya. Aku mulai memikirkan segala kemungkinan yang terjadi. Si Tua yang tak pernah dikunjungi sanak saudara itu (bahkan tak ada yang tahu berapa anak Pak Atma, atau berapa bersaudarakan ia, dari mana asalnya) barangkali darah tingginya kambuh dan mengalami stroke sehingga ia lumpuh tanpa pertolongan di dalam rumahnya dan tak bisa ke mana-mana. Atau ia mengalami serangan jantung dan telah tewas sejak dua minggu yang lalu? Tapi, kurasa tidak. Belum ada bau bangkai dan kepanikan warga. Tetangga sekitar tampak biasa saja dan tak curiga apa-apa. Semoga hipotesisku salah.
Seingatku—sebagai salah satu tetangga yang hanya memandang kehidupan tetangganya dari luar—Pak Atma berubah sepeninggal isterinya. Bu Juli (ejaan lama, dibaca Yuli) adalah permata hati satu-satunya yang dimiliki Pak Atma sepanjang hidup, entah sejak kapan. Aku lahir dan besar di lingkungan ini dan tahu-tahu mereka telah setua itu tinggal bersama di sebuah rumah dengan keberuntungan berupa lahan halaman yang cukup luas dan subur sehingga mudah ditanami berbagai macam pohon buah. Di sisi kiri rumah mereka, ada sebuah garasi dengan rolling door berwarna abu-abu dengan aksen tulisan latin berwarna kuning yang terbaca sebagai “Rumah Juli”.
Pernah ada pertanyaan menggelitik yang pernah kusampaikan kepada Ibu, “Mengapa Rumah Juli? Bukan Rumah Atma, sebab Pak Atma adalah kepala keluarga? Atau Rumah Atma dan Juli, agar adil?”. Lalu kami berdua duduk sambil menyantap makan siang kami sepulangku sekolah. Diceritakannya padaku sebuah kisah:
Rumah itu adalah Rumah Bu Juli yang diwariskan oleh orang tuanya sebelum meninggal. Jauh sebelum Bu Juli menikah dengan Pak Atma—ketika usianya masih sebelia nenek dan kakekmu yang dulunya juga berasal dari wilayah ini—beliau sendirilah yang merawat dengan baik peninggalan kedua orang tuanya.
Karena tak berpendidikan tinggi, Bu Juli yang rendah hati itu mendedikasikan masa remajanya sebagai pembaca dongeng. Setiap sore, ia mengumpulkan anak-anak kecil untuk dibacakan fabel maupun cerita-cerita rakyat dengan cara yang sangat menarik. Itulah awal mula Rumah Juli terbentuk, sebagai tempat di mana anak-anak mendapatkan cerita-cerita yang akan mereka kenang sebagai legenda hingga tua. Dari lima, sepuluh, hingga berkembang menjadi hampir lima puluh anak memenuhi Rumah Juli setiap harinya. Ketenaran ini membawa seorang wartawan dan penulis muda yang gemar mengkritisi gaya hidup muda-mudi pada masanya, untuk bertandang meliput kegiatan di Rumah Juli. Namanya, Atma.
Aku lahap memakan ayam goreng dan meresapi cerita Ibu. Menarik. Pertanyaanku dijawab dengan sangat apik oleh Ibu.  Pun belum pernah aku merasa setertarik ini dengan tetangga sendiri.
Dari situlah mereka jatuh cinta. Dari dongeng-dongeng yang dan kesenangan terhadap anak-anak yang dibagi oleh Bu Juli kepada Pak Atma, lelaki yang dulunya tampan itu jatuh cinta dan meminang Bu Juli. Keputusan yang tergesa namun tepat yang diambil Pak Atma hanya dalam hitungan hari setelah mereka berkenalan.
Berdua, mereka mulai mengembangkan potensi Rumah Juli. Pak Atma yang ternyata tak hanya menulis berita itu, juga menyumbangkan banyak sekali tulisan-tulisan pendeknya yang sarat akan pesan moral untuk dibacakan setiap hari oleh Bu Juli. Berdua, mereka adalah pasangan yang membuat iri pasangan lain, sebab, meskipun telah belasan tahun menikah dan belum dikaruniai anak, mereka dapat menjalin hubungan orang tua dan anak yang sangat membanggakan dengan bocah-bocah yang selalu haus akan dongeng-dongeng baru mereka berdua. Rumah Juli bukan lagi tempat bercerita, tetapi juga perpustakaan yang meminjamkan buku-buku kumpulan cerita pendek karya Pak Atma yang tak pernah dipublikasikan demi keuntungan komersil dan tidak ada di toko buku manapun. Di tangan Pak Atma dan Sang Isteri, Rumah Juli semakin hidup merangsang kegemaran anak-anak untuk membaca.
Begitu kira-kita.
Hingga akhirnya, dua belas tahun yang lalu, ketika aku masih duduk di bangku SMP, Bu Juli yang tak pernah jauh dari suaminya itu meninggal pada tidurnya yang begitu nyenyak dan tenang pada suatu dini hari.
Sejak saat itu, seribu satu kisah yang ditulis Pak Atma tak ada artinya lagi. Beliau berhenti menulis. Kaku tangan dan hatinya, berhenti akan lebih baik, pikirnya. Tak ada lagi persewaan buku. Tak ada lagi pembaca dongeng yang ramah menyapa anak-anak dan sanggup menjadi kekasih terbaik baginya. Seribu satu kisah—bahkan mungkin lebih—yang tak pernah dipublikasikan itu hanya berjajar di rak-rak buku Rumah Juli dan dibersihkan debunya sesekali. Membacanya kembali pun enggan. Rumah Juli tak sehidup dulu, macam musim gugur yang terlampau lama. Kering akan tawa dan bahagia seperti yang dulu orang-orang begitu puja.
Melekang bersama kesendiriannya, Pak Atma menjadi pribadi yang tertutup dan temperamen. Andai kata fisiknya sanggup, tentu ia sendiri yang akan merawat baik-baik kisah-kisahnya. Namun usia dan fisik yang melemah menjadikannya bergantung pada pembantu-pembantu yang silih berganti merawatbuku-buku dongeng buatannya. Pun, tak ada dari mereka yang hasil kerjanya cukup memuaskan. Pak Atma selalu bermuara pada pikiran andai Juli di sini.
Begitulah.
Maka, di minggu kedua setelah terakhir kali kulihat amarah Pak Atma meledak-ledak ini, aku masih menebak-nebak: apa seperti ini luka yang akan ditinggalkan seorang kekasih terbaik pada kekasihnya?
***
“Sepertinya, kita harus beritahu orang-orang,” Albertus, anak lelaki kecil yang punya volume otak menyamai orang dewasa itu, berlagak sebagai pemimpin rapat.
Yang lain diam saja. Empat hari ini, itu-itu saja yang telah dibahas dan begini-begini saja hasil akhirnya: tak ada aksi apapun untuk memulai gagasan itu. Yang lebih membuat susah,
“Lihat Pak Atma, dia harus dibawa ke Rumah Sakit secepatnya, atau...........”
“Tamat riwayat kita”
“Tamat riwayat kita” yang lain ikut menyahut panik.
“Tak perlu panik”, kata Bu Betty, ibu dari lima belas anak yang jago memasak itu baru saja menyelesaikan bubur ayamnya. Uap panas masih mengepul dari dalam mangkuk. Duduk di samping Pak Atma yang sedang terbaring, Bu Betty dengan sigap mengipas sendok demi sendok untuk disuapkan pada Pak Atma yang begitu lemah. “Masih ada kita. Kita semua bisa menangani ini”.
Lembar demi lembar, halaman per halaman, seribu satu tokoh dari seribu satu kisah yang pernah dicipta Pak Atma mulai berhamburan keluar. Tokoh-tokoh yang hendak berbalas budi atas terciptanya merekalah, yang kini merawat Pak Atma dengan sangat baik di Rumah Juli.
Sudah setahun sejak kemarahan terakhir Pak Atma terhadap pekerjanya, meski tak ada mobil di depan, tak ada wujud manusia keluar-masuk atau sekedar duduk di teras, tetiba terdengar riuh orang berbincang-bincang dari dalam Rumah Juli.
Pagar masih selalu terkunci, daun-daun kering dibiarkan gugur di halaman dan belum tersapu.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan meninggalkan jejak :)

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com