Rabu, 20 Juni 2012

Eiffel


Kamu masih sibuk di dekat jendela. Sibuk dengan tumpukan gambar Eiffel yang kau dapatkan dari internet, majalah, bahkan kaus murah bergambar Eiffel yang kau beli di penjaja pakaian bekas di pinggir jalan untuk kemudian kau gunting begitu saja bagian Eiffel-nya. Jari-jarimu yang panjang dan lentik—yang kata banyak orang itu adalah jari seniman—lincah menata satu per satu gambar pada satu kayu tipis yang begitu lebar, kau jadikan kolase foto Eiffel.
Ah, kau tertarik juga akhirnya pada Eiffel yang kuagung-agungkan. Dulu, kamu bilang bentuknya seperti sutet. Konyol kalau harus jauh-jauh ke Paris untuk lagi-lagi menikmati sutet yang di Indonesia pun bertebaran pada setiap titik daerah di dalam peta. “Kita sudah punya ribuan Eiffel,” katamu.
Aku tersenyum sendiri, pipiku menghangat. Entah efek dari uap panas secangkir teh yang sedang kutiup pelan untuk menurunkan suhunya, atau karena aku senang. Rasanya ulang tahunku masih lama, tapi begitu telaten kau mempersiapkan kado itu. Mungkin akan kupajang di kamar tidurku, berseberangan dengan jendela, biar kalau matahari datang, sinarnya menabrak langsung kolase foto Eiffel darimu biar makin terlihat seksi. Rasanya aku tak peduli lagi apakah aku akan benar-benar bisa ke sana atau tidak. Aku punya banyak Eiffel di kamar darimu!
Norak.
Aku kembali meniup teh yang belum juga dingin. Kalau itu bukan untukku, lantas untuk siapa? Aku bertanya sendiri dalam hati, mencoba menerka tiap kemungkinan. Tak sulit, karena sejauh yang aku tahu, aku adalah satu dari satu-satunya perempuan yang sedang dekat denganmu. Yang kau undang tiap hari ke rumahmu untuk menjadi pencicip pertama percobaanmu di dapur, untuk menjadi orang yang paling rewel melihat baju kotormu berserakan di mana-mana, untuk menghabiskan waktu menonton banyak DVD hingga ketiduran, untuk... oke, kolase foto itu pasti untukku!
Aku tersadar lagi. Ini seperti mimpi berlapis di mana aku harus hilang dalam lamunanku, lalu bangun, lalu melamun lagi.
“Kamu kenapa?” tanyanya sambil tertawa pelan.
“Eh, nggak papa,” jawabku cepat. Wajahku pasti kikuk. Baiklah, sebaiknya aku menamatkan penasaranku. “Itu buat siapa?”
Dia tersenyum. Dia pasti malu menyebut namaku. Setelah ini, dia pasti menyamarkan aku sebagai tokoh utamanya.
“Buat... yang kemarin nonton bola sama aku” jawabnya malu-malu.
Bola? Aku bahkan hanya tahu kalau sepak bola dimainkan oleh dua tim yang masing-masingnya berjumlah sebelas orang. Itu saja, tidak lebih. Apalagi untuk tertarik mengikuti pertandingan sepak bola sampai ke stadion. Jadi, oke, pendapatku gugur. Bukan aku orangnya. “Siapa?” tanyaku parau.
Dia tersenyum lagi. Menyebalkan.
“Yang jemput aku, yang kemeja biru, kamu tahu kan? Dua hari lagi dia ulang tahun, dan rencananya ke Paris harus ditunda karena beberapa hal. Ini kado yang tepat kan?”
Aku melongo di tempat. Badanku ditopang kursi kayu jati lengkap dengan sandaran punggung dan dua lengan, tapi badanku serasa lunglai hampir jatuh.
Bagaimana aku bisa tidak menyadari orientasi seksualnya selama ini? Bahwa dia gay.
Aku merunut semua waktu yang kita lalui bersama dan bagaimana aku merasa begitu istimewa dengan segala perlakuan manisnya. Aku patah hati seketika. Tapi tidak sesakit drama. Ini konyol.
Yeah, gay is a girls’ bestfriend, right? And I’m the one and only of that silly girl who was fell in love with that gay.
“Ya, tepat!”

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan meninggalkan jejak :)

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com