Kamu
masih sibuk di dekat jendela. Sibuk dengan tumpukan gambar Eiffel yang kau
dapatkan dari internet, majalah, bahkan kaus murah bergambar Eiffel yang kau
beli di penjaja pakaian bekas di pinggir jalan untuk kemudian kau gunting
begitu saja bagian Eiffel-nya. Jari-jarimu yang panjang dan lentik—yang kata
banyak orang itu adalah jari seniman—lincah menata satu per satu gambar pada
satu kayu tipis yang begitu lebar, kau jadikan kolase foto Eiffel.
Ah,
kau tertarik juga akhirnya pada Eiffel yang kuagung-agungkan. Dulu, kamu bilang
bentuknya seperti sutet. Konyol kalau harus jauh-jauh ke Paris untuk lagi-lagi
menikmati sutet yang di Indonesia pun bertebaran pada setiap titik daerah di
dalam peta. “Kita sudah punya ribuan Eiffel,” katamu.
Aku
tersenyum sendiri, pipiku menghangat. Entah efek dari uap panas secangkir teh
yang sedang kutiup pelan untuk menurunkan suhunya, atau karena aku senang.
Rasanya ulang tahunku masih lama, tapi begitu telaten kau mempersiapkan kado
itu. Mungkin akan kupajang di kamar tidurku, berseberangan dengan jendela, biar
kalau matahari datang, sinarnya menabrak langsung kolase foto Eiffel darimu
biar makin terlihat seksi. Rasanya aku tak peduli lagi apakah aku akan
benar-benar bisa ke sana atau tidak. Aku punya banyak Eiffel di kamar darimu!
Norak.
Aku
kembali meniup teh yang belum juga dingin. Kalau itu bukan untukku, lantas
untuk siapa? Aku bertanya sendiri dalam hati, mencoba menerka tiap kemungkinan.
Tak sulit, karena sejauh yang aku tahu, aku adalah satu dari satu-satunya perempuan
yang sedang dekat denganmu. Yang kau undang tiap hari ke rumahmu untuk menjadi
pencicip pertama percobaanmu di dapur, untuk menjadi orang yang paling rewel
melihat baju kotormu berserakan di mana-mana, untuk menghabiskan waktu menonton
banyak DVD hingga ketiduran, untuk... oke, kolase foto itu pasti untukku!
Aku
tersadar lagi. Ini seperti mimpi berlapis di mana aku harus hilang dalam lamunanku, lalu bangun,
lalu melamun lagi.
“Kamu
kenapa?” tanyanya sambil tertawa pelan.
“Eh,
nggak papa,” jawabku cepat. Wajahku pasti kikuk. Baiklah, sebaiknya aku
menamatkan penasaranku. “Itu buat siapa?”
Dia
tersenyum. Dia pasti malu menyebut namaku. Setelah ini, dia pasti menyamarkan aku
sebagai tokoh utamanya.
“Buat...
yang kemarin nonton bola sama aku” jawabnya malu-malu.
Bola?
Aku bahkan hanya tahu kalau sepak bola dimainkan oleh dua tim yang
masing-masingnya berjumlah sebelas orang. Itu saja, tidak lebih. Apalagi untuk
tertarik mengikuti pertandingan sepak bola sampai ke stadion. Jadi, oke,
pendapatku gugur. Bukan aku orangnya. “Siapa?” tanyaku parau.
Dia
tersenyum lagi. Menyebalkan.
“Yang
jemput aku, yang kemeja biru, kamu tahu kan? Dua hari lagi dia ulang tahun, dan
rencananya ke Paris harus ditunda karena beberapa hal. Ini kado yang tepat
kan?”
Aku
melongo di tempat. Badanku ditopang kursi kayu jati lengkap dengan sandaran
punggung dan dua lengan, tapi badanku serasa lunglai hampir jatuh.
Bagaimana
aku bisa tidak menyadari orientasi seksualnya selama ini? Bahwa dia gay.
Aku
merunut semua waktu yang kita lalui bersama dan bagaimana aku merasa begitu
istimewa dengan segala perlakuan manisnya. Aku patah hati seketika. Tapi tidak
sesakit drama. Ini konyol.
Yeah, gay is a girls’ bestfriend,
right? And I’m the one and only of that
silly girl who was fell in love with that gay.
“Ya,
tepat!”
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan meninggalkan jejak :)