“Harusnya
cerita ini bisa berakhir lebih bahagia
tapi kita dalam diorama”
Kita
berdiri bersisian. Begitu kaku.
Kau
cantik sekali hari ini. Berbalut kimono merah dengan bedak tebal pucat. Bibirmu
juga kau poles merah. Tapi, tidakkah kecantikanmu terlalu unik untuk kau
hadirkan di pernikahanku yang beradat Jawa?
Mempelai
perempuanku, sedang entah di mana. Duduklah aku di sini, sendiri berpakaian jarik dan rangkaian kembang melati yang
menggantung di leherku, juga keris yang menancap di balik punggungku. Aku mempelai
pria yang sendiri.
Mereka
menyisakan kita berdua yang canggung. Kau diam begitu, dan aku tak bisa
berhenti menebak mengapa kau tiba-tiba diletakkan di sini, di malam ini ketika
aku resmi beristri, sedangkan kau adalah satu nama dari satu-satunya daftar
kenalan yang tak kuundang.
Aku
lupa masa lalu kita, bagaimana kita pernah merajut satu demi satu benang pintal
warna merah hati dalam satu masa di mana kau dan aku masih ber-“kita”. Seolah
Tuhan menakdirkan kita untuk berhenti pada akhir yang tak berawal. Mungkin
karena aku pria Jawa dan kau gadis Jepang, hingga bersatu bukanlah takdir yang
tepat. Atau karena kau berkulit putih bak kertas yang masih bersih, sedangkan
aku berkulit cokelat seperti amplop lamaran kerja yang terbakar, hingga kita
tak layak berdampingan. Entahlah.
Kita
masih berdiri bersisian, begitu kaku.
Kau
masih dingin, aku melirikmu sesekali, entah sudah berapa kali. Untuk apa kau
hadirkan diri hari ini, Sayang? Kau racun yang membahayakan. Aku bisa terpikat
oleh candumu, lagi dan lagi. Dengan kimono merahmu yang mengalahkan keanggunan
busana Jawa mempelai wanitaku, tak adakah pria yang mengamit lenganmu dalam
altar pernikahan?
Kalau
begitu, bagaimana kalau aku saja? Istriku belum kembali. Biar untuk sebentar
menit ke depan, kau yang berdiri di sisiku, menjadi pengantinku.
*terinspirasi dari lagu Tulus, Diorama
*terinspirasi dari lagu Tulus, Diorama
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan meninggalkan jejak :)