Jejakmu
terbaca, seperti kaki-kaki angin yang menapak dan menyeret lembut sisir pantai.
“Apakah ini sebuah kontes pelarian?” tanyaku pada jejakmu. Kau berlari tunggang
langgang menghindari entah apa di belakang, sementara tak sebutirpun keringat
bercucuran dari ragamu yang tak kasat mata.
“Lelahkah?”
“Ya”
“Apa
yang kau hindari?”
Lantas
kau menunjuk segenggam atmosfer abu-abu di sana, yang tak enggan melambaikan
tangannya mengajakmu kembali. Pedih. Perih.
Seperti
mimpi saja, latar kita berpindah, di atas rooftop
gedung tua yang menyisakan abu dan debu yang nyata mengudara seperti
titik-titik noise pada foto lama. Kau
bergerak di tepian, dengan hembus angin yang mengobrak-abrik air matamu yang
berderai. Tanganmu kau rentangkan. Dan tanpa aba-aba kau loncat begitu saja
sedang aku masih kaku menyaksikan ketidakmampuanku menahanmu.
Kau
menerjang gravitasi dengan gerakan lambat. Lamat-lamat kusaksikan bibirmu
bergerak mengucap satu kata mirip “maaf” dengan suara yang tertelan oleh udara.
“Tidakkah
ini tipuan?” tanyaku perlahan. Kuharap akan ada detik-detik di mana parasut
akan mengembang dari balik punggungmu dan menghentikan ketakutanku.
Ternyata,
tidak.
Seperti
mimpi saja, latarku berpindah, di atas ranjang yang asing dengan satu eksemplar
surat kabar di sisi kanan bantal. Ada namamu, di headline koran pagi ini. Tewas.
Jadi,
itu mimpi, atau bukan?
Apa
yang kau hindari?
Maaf
untuk apa?
Tangisku
pecah berhamburan.
*sambil mendengarkan
denting-denting sendu dari Lorelei
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan meninggalkan jejak :)