Nafas
kami memburu. Sebab kami merupakan cerminan lelah yang bergulir pada
detik-detik yang munafik.
Kami
adalah dua pesakitan yang tengah berbaring dalam ranjang masing-masing, tak
ditunggui keluarga bahkan seekor cicakpun. Pura-pura tak peduli, padahal tahu
seluk-beluk luar-dalam satu sama lain.
Kami
dibalut dosa yang sama. Jika hidup serupa perjudian, deru nafas kami sedang
bertaruh nyawa, menebak-nebak siapa yang akan mati duluan. Kau, atau aku.
Melihat
lebam di mata dan bibirmu, seta bias biru di kedua pipimu, tampaknya kau tak
akan betah hidup lebih lama lagi. Tampanmu memudar. Kau tak ubahnya mumi yang
tangan dan kakinya terbalut. Kaku dan pasrah.
Sedang
aku, tampaknya aku juga telah bosan hidup lebih lama. Luka bacok di sana-sini
pertanda aku tak lebih kuat dari sebuah mentimun yang dapat dengan mudah
tertebas begitu saja oleh tajam mata pisau.
Kami
sama-sama berusaha mati lebih dulu. Kami sama-sama tak sanggup lagi
terus-menerus menelan ludah membayangkan jeruji besi yang kelak membatasi hidup
kami. Berserah diri, atau berserah nyawa. Kami takut akan keduanya. Tapi kami
sedang dipermainkan oleh gagasan kejahatan yang berimbas pada diri kami
sendiri.
Di
depan kami, pria berjubah hitam sedang bingung menentukan akan memenangkan
nyawa siapa dalam taruhan kali ini.
3 komentar:
dari saku celananya, pria berjubah itu mengeluarkan sekeping koin perak dan lalu melemparkannya keudara. mencari tahu, siapa yg lebih dulu beruntung, dijemput dan dijauhkan dari padamnya usia.
jangan dulukan dengan itu Andri. biarin pria berjubah itu terus keliru dan bingung.
lanjutin cerpennya!
makasih mas-mas! pembaca adalah penentu ending :)
Posting Komentar
Silakan meninggalkan jejak :)