Sabtu, 20 Oktober 2012

Nyawa Bertaruh


Nafas kami memburu. Sebab kami merupakan cerminan lelah yang bergulir pada detik-detik yang munafik.
Kami adalah dua pesakitan yang tengah berbaring dalam ranjang masing-masing, tak ditunggui keluarga bahkan seekor cicakpun. Pura-pura tak peduli, padahal tahu seluk-beluk luar-dalam satu sama lain.
Kami dibalut dosa yang sama. Jika hidup serupa perjudian, deru nafas kami sedang bertaruh nyawa, menebak-nebak siapa yang akan mati duluan. Kau, atau aku.
Melihat lebam di mata dan bibirmu, seta bias biru di kedua pipimu, tampaknya kau tak akan betah hidup lebih lama lagi. Tampanmu memudar. Kau tak ubahnya mumi yang tangan dan kakinya terbalut. Kaku dan pasrah.
Sedang aku, tampaknya aku juga telah bosan hidup lebih lama. Luka bacok di sana-sini pertanda aku tak lebih kuat dari sebuah mentimun yang dapat dengan mudah tertebas begitu saja oleh tajam mata pisau.
Kami sama-sama berusaha mati lebih dulu. Kami sama-sama tak sanggup lagi terus-menerus menelan ludah membayangkan jeruji besi yang kelak membatasi hidup kami. Berserah diri, atau berserah nyawa. Kami takut akan keduanya. Tapi kami sedang dipermainkan oleh gagasan kejahatan yang berimbas pada diri kami sendiri.
Di depan kami, pria berjubah hitam sedang bingung menentukan akan memenangkan nyawa siapa dalam taruhan kali ini.

3 komentar:

andri K wahab mengatakan...

dari saku celananya, pria berjubah itu mengeluarkan sekeping koin perak dan lalu melemparkannya keudara. mencari tahu, siapa yg lebih dulu beruntung, dijemput dan dijauhkan dari padamnya usia.

ghost mengatakan...

jangan dulukan dengan itu Andri. biarin pria berjubah itu terus keliru dan bingung.

lanjutin cerpennya!

Putripus mengatakan...

makasih mas-mas! pembaca adalah penentu ending :)

Posting Komentar

Silakan meninggalkan jejak :)

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com