Aku
hidup berdua dengan Bapak semata wayangku di sebuah daerah yang terlihat begitu
kecil dalam peta Tasikmalaya. Sekecil itu pulalah pergaulanku. Maka, ketika aku
tumbuh menjadi gadis 20 tahun yang cantik rupawan meski berpenampilan biasa saja
dan didekati beberapa lelaki, Bapaklah yang mendampingiku menentukan pilihan
hingga akhirnya untuk pertama kalinya dalam dua puluh tahunku, kujatuhkan
hatiku pada Andi. Bujang sederhana yang kukenal selama kuliah, yang sopan
santun, juga taat ibadahnya.
Kuberi
tahu, yang turut menanamkan modal terbesar pada kencan pertamaku, tak lain
adalah Bapak. Sebagai pengerajin Tasikmalaya yang sudah lama pensiun menerima
pesanan kerajinan tangan yang membabi buta dan lantas beralih pada kegiatan
barunya, yaitu memelihara sepasang burung merpati saja, Bapak rela menanggalkan
lencana pensiunnya dan kembali berkutat dengan keahlian yang dulu dibina dalam
dirinya matang-matang sebagai pengerajin, yang meskipun tak terlalu tersohor di
Tasikmalaya, namun berhasil menghidupi kami berdua bahkan menyekolahkanku
hingga mencapai perguruan tinggi.
Seminggu
sebelum kencan pertamaku dengan Andi, Bapaklah yang paling sibuk mempersiapkan
‘persenjataan’ agar aku terlihat istimewa. Dibelikanlah aku perona bibir, warna
merah muda. Bapak yang notabene adalah mantan pengerajin, tak pernah salah
memilih warna. Merah muda pilihan Bapak bukanlah jenis yang norak dan membuat
bibirku tampak kampungan. Pilihan Bapak telah melalui proses pertimbangan yang
cukup matang karena telah menyesuaikan dengan pakaian yang akan kukenakan.
Selanjutnya,
Bapak menghabiskan waktu lagi, berjam-jam dalam gudang alat-alat kerjanya.
Belum termasuk jam-jam yang harus dihabiskannya untuk bolak-balik membeli
bahan. Dalam hitungan tahun, Tasikmalaya telah bertransformasi dengan begitu
berbeda. Kata Bapak, bisa mendapatkan toko penjual bahan kerajinan yang murah
dan masih mempertahankan kualitas seperti pada eranya dulu, layaknya menemukan
Surga. Masalahnya, Bapak cukup kesulitan menemukannya. Bapak seperti pengerajin
baru dari luar Tasikmalaya yang begitu linglung dan tidak tahu ke mana harus
mendapatkan bahan yang diperlukan.
Yang
menarik adalah, Bapak tak pernah absen mengunci pintu ruang kerjanya tiap kali
hendak pergi meninggalkan ruangan itu. Ruangan itu tertutup penuh, pula tak ada
jendela. Beliau semacam tahu bahwa aku berencana mengendap-endap masuk ke dalam
saat Bapak pergi, dan mencari tahu apa yang beberapa hari terakhir dikata
“rahasia” oleh Bapak itu.
Dan
akhirnya, hari itu tiba.
Ini
yang kulakukan pada pukul satu siang di suatu hari yang panas ketika kalender
menunjukkan tanggal 18 September di hari Sabtu: aku mematut diri begitu lama di
depan cermin. Bayangan yang kurasa belum juga terlihat begitu cantik itu
menatapku balik. Empat-lima helai rambutku mencuat sedikit, kurapikan lagi
hingga semua helai rambutku jatuh rapi-lembut. Helai kain berlengan pendek
warna putih bermotif bunga merah muda besar-besar selutut juga tak lepas dari
fokusku. Dan, ah, perona bibir dari Bapak. Kurasa itulah satu-satunya yang
telah sempurna mengikat bibirku hingga senyumku terlihat begitu manis.
Sementara,
kucuri intip seorang pria telah siap di luar sana. Berdiri resah menunggu gadis
Tasikmalaya yang sedang diperjuangkan hatinya. Mengenal Andi yang juga teman
kuliahku adalah hobi baru yang menyenangkan. Alisnya yang tebal suka ikut-ikut
naik saat mata dan bibirnya menertawakan lelucon yang kubuat. Rambutnya hitam,
sedikit keriting tapi terpangkas rapi. Tak pernah luput mengingatkan untuk
menggenapkan shalat di kampus meskipun jadwal kuliah tak memberi kesempatan
untuk jeda. Ah, Bapak yang lelaki saja terpikat,
apalagi aku.
“Dor!”
Bapak menepuk bahuku pelan, tapi, tetap saja aku kaget. Ketahuan aku sedang
sibuk mengintip.
Bapak
lantas mendahuluiku begitu saja, membukakan pintu yang sedari tadi diketuk Andi
beberapa kali.
“Permisi,
Bapak. Mayang ada?” suara Andi yang semerdu penyiar radio menyambut Bapak.
Sedikit melirik ke belakang, Bapak memberi kode bahwa aku telah siap diajak
kencan.
“Pak,
Mayang pamit, ya” kuraih tangan Bapak, lalu kucium sambil mengirimkan getar
batin agar Bapak mendoakanku dari jauh.
“Oiya,
ini” Bapak menyerahkan sesuatu yang sedari tadi digenggamnya di tangan kiri.
“Di luar panas. Bapak nggak mau Mayang dipulangin dalam keadaan gosong. Dipakai
ya nanti”
Diserahkannya
benda itu padaku. Sebuah payung. Kurentangkan tudungnya. Ini payung geulis, sudah lama sekali Bapak tidak
membuat ini. Sekalipun membuat, Bapak lebih sering mencipta miniaturnya, banyak
dipesan sebagai souvenir pernikahan,
dulunya. Bertangkai bambu, payung ini terbentang cantik dengan tudung terbuat
dari kertas khusus payung kerajinan. Senada sekali dengan baju selututku. Putih
dengan lukisan bunga sakura merah muda. Jelas sebagai pengrajin, Bapak juga
ahli dalam memainkan kuas dan warna.
Aku
senang sekali. Ini kencan pertamaku dan Bapak menggenggamiku sebuah jimat, payung
geulis. Konon, disebut payung geulis sebab jaman dahulu mojang-mojang geulis Tasikmalaya kerap memakai payung
kertas seperti ini ke mana-mana untuk melindungi diri dari terik matahari.
Bentuknya yang manis dan sederhana, selalu berhasil menyiratkan keanggunan
tersendiri dari pemakainya. Tak ayal pemberian Bapak membuatku merasa cantik
sempurna.
Bapak
merangkul bahuku. “Dulu waktu Bapak kencan dengan ibumu, dia juga selalu bawa
payung geulis” katanya. Rautnya
mengenang semasa Ibu masih ada di antara kami berdua sebelum beliau meninggal
karena serangan jantung sebelas tahun yang lalu.
Di
saat seperti ini, aku merasa bersalah jika harus tumbuh dewasa dan meninggalkan
Bapak. Sebagai satu-satunya orang tua yang membesarkanku dan menyaksikan tumbuh
kembangku, Bapak mana yang tak merasa kehilangan ketika harus melepaskan putri
semata wayangnya ke pelukan lelaki lain yang kelak akan mendampinginya? Jelas Bapak
menampakkan raut takut kehilangan sekaligus damba kebahagiaan yang mau tak mau
harus diberikan kepada gadisnya.
***
Sabtu
siang itu, aku tak jadi ke mana-mana. Bersama Andi dan Bapak, kami bertiga
duduk di pelataran teras rumah, menikmati terik matahari Tasikmalaya yang
mengintip dari balik pot-pot tanaman gantung Bapak. Sepoci besar es teh manis tersaji
dengan tiga gelas belimbing dan sepiring penuh donat kentang.
Ah,
mungkin hanya aku yang menikmati siang itu. Bapak dan Andi tampak tegang.
Dahinya berkerut-kerut menggambar berbagai macam strategi dalam otak
masing-masing. Sedangkan aku hanya turut tertawa ketika salah satu dari mereka
terkecoh dengan permainan bidak-bidak catur lawan. Sesekali, mereka istirahat,
menikmati donat dan membicarakan burung merpati Bapak hingga membicarakan
pemerintah daerah.
Sssstt,
sebenarnya Sabtu itu tetap menjadi kencan pertamaku dengan Andi. Setelah Bapak
memberiku sebuah payung geulis, Andi
mengajakku berjalan kaki menyusuri deretan-deretan rumah di sekitarku. “Kita
cari kue, kasihan Bapakmu di rumah sendirian. Biar kita temani Bapak hari ini”
Aduh,
Bapak, baik sekali Andi. Tidakkah hal yang paling menyenangkan adalah melihat
seseorang begitu peduli dengan orang yang kita sayangi? Perjalanan kaki yang
hanya lima belas menit di bawah tudung payung geulis hasil kerjamu itu membuahkan satu debar jantung yang baru
ketika Andi menggandeng tanganku, Pak. Entah keringat dingin macam apa yang
tiba-tiba muncul dan membuat Andi menertawakanku, tapi tak juga melepaskannya
dari tangannya yang begitu lembut menggenggam. Dan secara ajaib kami
menghabiskan banyak sekali obrolan seolah kami telah melewati berjam-jam waktu
berdua.
Lima
belas menit yang membuatku tahu bahwa pilihanmu, Pak, adalah pilihan yang
tepat.