Aku memandangi Ibu yang bertaut begitu lama di hadapan
cermin. Gincunya merah merekah, penuh memoles bibir yang dihiasi tahi lalat
kecil di ujung kirinya. Bedaknya tak kalah tebal, memutihkan kulit wajah Ibu
yang sejatinya kuning langsat.
Aku masih diam terpaku, mengintip Ibu dari balik kusen pintu
kamarnya. Baju dan tanganku begitu hitam dan kotor, jejak oli masih menempel di
sana-sini sejak kuperbaiki rantai sepedaku tadi. Tak akan diijinkan aku memasuki
kamar Ibu yang begitu sakral: banyak kebaya dan kostum panggung di sana-sini.
“Bu, aku boleh ndak pakai konde? Yang kayak punya
Ibu, yang itu..” pintaku pelan, menunjuk ke arah sebuah konde yang masih
terbungkus rapi dalam kotak kardus kecil. Dari sekian banyak konde milik Ibu,
yang itu satu favoritku. Entahlah, itu hanya sebuah konde sederhana. Tapi tiap
kali aku melihat Ibu memakai konde itu di pementasan, aku seperti kerasukan dan
hanya bisa diam terpesona melihat Ibu yang begitu cantik memikat. Ah, aku hanya
ingin secantik Ibu, sebenarnya.
“Boleh nduk. Bilang saja sama Bapakmu, jangan suka
mangkas rambutmu seenak udel-nya sendiri. Paling nggak, rambutmu
panjangnya sebahu supaya Ibu bisa masang konde itu di rambutmu” jawab Ibu,
sambil menebalkan alisnya dengan pensil alis. Membuatnya sedikit lebih naik dan
sedikit lebih panjang.
Aku meraba kepalaku dengan tanganku yang masih hitam beroli.
Rambutku tak kunjung panjang. Bapak hobi sekali mencukur rambutku hingga habis.
Di sekolah, aku selalu menjadi bahan olokan teman-teman karena aku tak punya rambut,
seperti laki-laki, tapi bermain boneka, seperti anak perempuan kebanyakan.
“Tapi rambutku kapan panjangnya, Bu ?” tanyaku lirih.
Ibu terlihat berhenti mempercantik alisnya, lantas
memandangku yang belum berpindah dari kusen pintu kamarnya. “Besok-besok, kalau
Bapakmu sudah akur sama Ibu”
Bapak dan Ibu itu ibarat pewayangan Rama dan Sinta yang
dimainkan oleh seorang dalang mabuk, menurutku. Seharusnya, mereka adalah
sepasang pria gagah dan wanita gemulai yang saling merajut asmara. Tapi di
realita panggung, mereka tak ubahnya menjadi dua orang dewasa yang tak pernah
mau berdamai dengan argumen satu sama lain. Ya, dalangnya mabuk. Rama-Sinta
versi Bapak-Ibuku pasti sudah dilempari botol air mineral kosong kalau
benar-benar dipentaskan. Seperti aku, yang selalu ingin melempari mereka
teriakan untuk berhenti tiap kali tak ada satupun dari mereka berdua yang bisa
menghentikan adu mulut dan adegan saling melempar guci di rumah.
“Terus kenapa kalau Bapak nggunduli rambutku, Ibu ndak
berusaha melarang Bapak ?” tanyaku kemudian, kepada Ibu yang baru saja
menyelesaikan riasannya dan sudah tampak begitu rapi dengan kebaya merah tua
serta konde yang baru dibelinya.
“Ibu sudah capek, Bapakmu itu mungkin nunggu Ibu mati dulu
baru mau dengerin semua yang pernah Ibu bilang ke dia” jawab Ibu ketus, nada
bicaranya meninggi. “Kamu jaga rumah, Ibu berangkat dulu. Jangan lupa pintu,
jendela, dikunci semua. Jangan tidur dulu sebelum Bapakmu pulang” lanjutnya.
Berkaca lagi, menarikku keluar dan mengunci kamarnya yang sakral, lalu
melenggang pergi.
***
Ibu
bukan hanya seorang sinden cantik yang piawai menyanyikan tembang-tembang Jawa
dengan suara tinggi melengking nan merdu. Sekali waktu, Ibu turun dan berjoget.
Bukan menarikan Tarian Ronggeng, ibu hanya melenggak-lenggok sekenanya untuk
kemudian membiarkan para laki-laki turut bergoyang di balik selendangnya sambil
memberi saweran. Tapi Ibu seperti
minuman memabukkan, terlihat sederhana namun pesona kecantikannya mematikan.
Dari sanalah Ibu membiayai sekolahku dan keperluan kami sehri-hari.
Bapak
tak pernah suka melihat Ibu disawer
lelaki lain, meskipun mereka menyawer dengan cara yang sopan dan tak
merendahkan Ibu. Namun, tetap saja, Bapak selalu murka setelahnya. Memaki-maki
Ibu tanpa ampun, sambil mengombinasikan kemarahannya terhadap kesalahan-kesalahan
Ibu yang lain. Diungkit lagi hal-hal lama hingga tampak sebagai kesalahan baru.
Untukku,
malam akan menjadi begitu panjang. Kuhabiskan sambil bersembunyi di bawah
kolong ranjang, merangkul lututku erat-erat sambil mendengarkan dialog-dialog
keras mereka, atau suara pukulan sesekali. Ibu sendiri, semakin terlatih
menghadapi Bapak. Jika dulu Ibu hanya bisa menjerit kesakitan—baik lahir maupun
batinnya—kini Ibu lebih berani mengembalikan sumpah serapah Bapak tanpa air mata
sedikitpun.
Aku
tak tahu berada di pihak siapa. Yang aku pelajari tiap malamnya adalah semakin
keras Bapak memperlakukan Ibu, maka semakin kuat Ibu mampu menghadapi segala
resiko pilihan hidupnya.
Dan
semakin kuat Ibu menghadapinya, semakin besar keinginanku untuk menjadi seperti
Ibu. Sama persis, seperti Ibu.
***
Bapak
kalah judi. Lantas pulang dan memukuli Ibu yang sedang menghitung uang hasil
kerjanya malam ini di ruang tamu. Semakin tak beralasan pelampiasan kemarahan
Bapak. Semakin kosong dan rusak perabotan-perabotan di rumahku. Pula jiwa-jiwa
yang bersemayam di bawah peraduan atap yang sama.
Aku
sendiri, telah berpoles cantik. Wajahku semakin mirip dengan Ibu. Lengkap
dengan tahi lalat kecil di ujung kiri bibirku. Pada sentuhan terakhir, kukenakan
konde Ibu yang kucuri sore tadi. Kuikat menjadi satu dengan kepalaku
menggunakan seutas tali rafia, sebab terlalu lama jika menunggu panjang
rambutku, sementara aku tak sabar lagi menjadi sosok seperti Ibu.
Di
bawah konde Ibu dan selembar selendang biru nan cantik, aku berlenggak-lenggok
menari dalam senyapnya kamarku, diiringi suara piring yang beterbangan di luar
sana. Berpura-pura sedang berada di atas pentas, menerima sorakan dan siulan
penonton, menjadi bidadari malam.
Menari
dan membebaskan jiwaku untuk terlahir sebagai seorang perempuan, meski
terkungkung dalam raga seorang lelaki.
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan meninggalkan jejak :)