Senin, 04 Februari 2013

Konde Ibu


Aku memandangi Ibu yang bertaut begitu lama di hadapan cermin. Gincunya merah merekah, penuh memoles bibir yang dihiasi tahi lalat kecil di ujung kirinya. Bedaknya tak kalah tebal, memutihkan kulit wajah Ibu yang sejatinya kuning langsat.
Aku masih diam terpaku, mengintip Ibu dari balik kusen pintu kamarnya. Baju dan tanganku begitu hitam dan kotor, jejak oli masih menempel di sana-sini sejak kuperbaiki rantai sepedaku tadi. Tak akan diijinkan aku memasuki kamar Ibu yang begitu sakral: banyak kebaya dan kostum panggung di sana-sini.
“Bu, aku boleh ndak pakai konde? Yang kayak punya Ibu, yang itu..” pintaku pelan, menunjuk ke arah sebuah konde yang masih terbungkus rapi dalam kotak kardus kecil. Dari sekian banyak konde milik Ibu, yang itu satu favoritku. Entahlah, itu hanya sebuah konde sederhana. Tapi tiap kali aku melihat Ibu memakai konde itu di pementasan, aku seperti kerasukan dan hanya bisa diam terpesona melihat Ibu yang begitu cantik memikat. Ah, aku hanya ingin secantik Ibu, sebenarnya.
“Boleh nduk. Bilang saja sama Bapakmu, jangan suka mangkas rambutmu seenak udel-nya sendiri. Paling nggak, rambutmu panjangnya sebahu supaya Ibu bisa masang konde itu di rambutmu” jawab Ibu, sambil menebalkan alisnya dengan pensil alis. Membuatnya sedikit lebih naik dan sedikit lebih panjang.
Aku meraba kepalaku dengan tanganku yang masih hitam beroli. Rambutku tak kunjung panjang. Bapak hobi sekali mencukur rambutku hingga habis. Di sekolah, aku selalu menjadi bahan olokan teman-teman karena aku tak punya rambut, seperti laki-laki, tapi bermain boneka, seperti anak perempuan kebanyakan.
“Tapi rambutku kapan panjangnya, Bu ?” tanyaku lirih.
Ibu terlihat berhenti mempercantik alisnya, lantas memandangku yang belum berpindah dari kusen pintu kamarnya. “Besok-besok, kalau Bapakmu sudah akur sama Ibu”
Bapak dan Ibu itu ibarat pewayangan Rama dan Sinta yang dimainkan oleh seorang dalang mabuk, menurutku. Seharusnya, mereka adalah sepasang pria gagah dan wanita gemulai yang saling merajut asmara. Tapi di realita panggung, mereka tak ubahnya menjadi dua orang dewasa yang tak pernah mau berdamai dengan argumen satu sama lain. Ya, dalangnya mabuk. Rama-Sinta versi Bapak-Ibuku pasti sudah dilempari botol air mineral kosong kalau benar-benar dipentaskan. Seperti aku, yang selalu ingin melempari mereka teriakan untuk berhenti tiap kali tak ada satupun dari mereka berdua yang bisa menghentikan adu mulut dan adegan saling melempar guci di rumah.
“Terus kenapa kalau Bapak nggunduli rambutku, Ibu ndak berusaha melarang Bapak ?” tanyaku kemudian, kepada Ibu yang baru saja menyelesaikan riasannya dan sudah tampak begitu rapi dengan kebaya merah tua serta konde yang baru dibelinya.
“Ibu sudah capek, Bapakmu itu mungkin nunggu Ibu mati dulu baru mau dengerin semua yang pernah Ibu bilang ke dia” jawab Ibu ketus, nada bicaranya meninggi. “Kamu jaga rumah, Ibu berangkat dulu. Jangan lupa pintu, jendela, dikunci semua. Jangan tidur dulu sebelum Bapakmu pulang” lanjutnya. Berkaca lagi, menarikku keluar dan mengunci kamarnya yang sakral, lalu melenggang pergi.

***

Ibu bukan hanya seorang sinden cantik yang piawai menyanyikan tembang-tembang Jawa dengan suara tinggi melengking nan merdu. Sekali waktu, Ibu turun dan berjoget. Bukan menarikan Tarian Ronggeng, ibu hanya melenggak-lenggok sekenanya untuk kemudian membiarkan para laki-laki turut bergoyang di balik selendangnya sambil memberi saweran. Tapi Ibu seperti minuman memabukkan, terlihat sederhana namun pesona kecantikannya mematikan. Dari sanalah Ibu membiayai sekolahku dan keperluan kami sehri-hari.
Bapak tak pernah suka melihat Ibu disawer lelaki lain, meskipun mereka menyawer dengan cara yang sopan dan tak merendahkan Ibu. Namun, tetap saja, Bapak selalu murka setelahnya. Memaki-maki Ibu tanpa ampun, sambil mengombinasikan kemarahannya terhadap kesalahan-kesalahan Ibu yang lain. Diungkit lagi hal-hal lama hingga tampak sebagai kesalahan baru.
Untukku, malam akan menjadi begitu panjang. Kuhabiskan sambil bersembunyi di bawah kolong ranjang, merangkul lututku erat-erat sambil mendengarkan dialog-dialog keras mereka, atau suara pukulan sesekali. Ibu sendiri, semakin terlatih menghadapi Bapak. Jika dulu Ibu hanya bisa menjerit kesakitan—baik lahir maupun batinnya—kini Ibu lebih berani mengembalikan sumpah serapah Bapak tanpa air mata sedikitpun.
Aku tak tahu berada di pihak siapa. Yang aku pelajari tiap malamnya adalah semakin keras Bapak memperlakukan Ibu, maka semakin kuat Ibu mampu menghadapi segala resiko pilihan hidupnya.
Dan semakin kuat Ibu menghadapinya, semakin besar keinginanku untuk menjadi seperti Ibu. Sama persis, seperti Ibu.

***

Bapak kalah judi. Lantas pulang dan memukuli Ibu yang sedang menghitung uang hasil kerjanya malam ini di ruang tamu. Semakin tak beralasan pelampiasan kemarahan Bapak. Semakin kosong dan rusak perabotan-perabotan di rumahku. Pula jiwa-jiwa yang bersemayam di bawah peraduan atap yang sama.
Aku sendiri, telah berpoles cantik. Wajahku semakin mirip dengan Ibu. Lengkap dengan tahi lalat kecil di ujung kiri bibirku. Pada sentuhan terakhir, kukenakan konde Ibu yang kucuri sore tadi. Kuikat menjadi satu dengan kepalaku menggunakan seutas tali rafia, sebab terlalu lama jika menunggu panjang rambutku, sementara aku tak sabar lagi menjadi sosok seperti Ibu.
Di bawah konde Ibu dan selembar selendang biru nan cantik, aku berlenggak-lenggok menari dalam senyapnya kamarku, diiringi suara piring yang beterbangan di luar sana. Berpura-pura sedang berada di atas pentas, menerima sorakan dan siulan penonton, menjadi bidadari malam.
Menari dan membebaskan jiwaku untuk terlahir sebagai seorang perempuan, meski terkungkung dalam raga seorang lelaki.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan meninggalkan jejak :)

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com