Selasa, 12 Februari 2013

Payung Geulis


Aku hidup berdua dengan Bapak semata wayangku di sebuah daerah yang terlihat begitu kecil dalam peta Tasikmalaya. Sekecil itu pulalah pergaulanku. Maka, ketika aku tumbuh menjadi gadis 20 tahun yang cantik rupawan meski berpenampilan biasa saja dan didekati beberapa lelaki, Bapaklah yang mendampingiku menentukan pilihan hingga akhirnya untuk pertama kalinya dalam dua puluh tahunku, kujatuhkan hatiku pada Andi. Bujang sederhana yang kukenal selama kuliah, yang sopan santun, juga taat ibadahnya.
Kuberi tahu, yang turut menanamkan modal terbesar pada kencan pertamaku, tak lain adalah Bapak. Sebagai pengerajin Tasikmalaya yang sudah lama pensiun menerima pesanan kerajinan tangan yang membabi buta dan lantas beralih pada kegiatan barunya, yaitu memelihara sepasang burung merpati saja, Bapak rela menanggalkan lencana pensiunnya dan kembali berkutat dengan keahlian yang dulu dibina dalam dirinya matang-matang sebagai pengerajin, yang meskipun tak terlalu tersohor di Tasikmalaya, namun berhasil menghidupi kami berdua bahkan menyekolahkanku hingga mencapai perguruan tinggi.
Seminggu sebelum kencan pertamaku dengan Andi, Bapaklah yang paling sibuk mempersiapkan ‘persenjataan’ agar aku terlihat istimewa. Dibelikanlah aku perona bibir, warna merah muda. Bapak yang notabene adalah mantan pengerajin, tak pernah salah memilih warna. Merah muda pilihan Bapak bukanlah jenis yang norak dan membuat bibirku tampak kampungan. Pilihan Bapak telah melalui proses pertimbangan yang cukup matang karena telah menyesuaikan dengan pakaian yang akan kukenakan.
Selanjutnya, Bapak menghabiskan waktu lagi, berjam-jam dalam gudang alat-alat kerjanya. Belum termasuk jam-jam yang harus dihabiskannya untuk bolak-balik membeli bahan. Dalam hitungan tahun, Tasikmalaya telah bertransformasi dengan begitu berbeda. Kata Bapak, bisa mendapatkan toko penjual bahan kerajinan yang murah dan masih mempertahankan kualitas seperti pada eranya dulu, layaknya menemukan Surga. Masalahnya, Bapak cukup kesulitan menemukannya. Bapak seperti pengerajin baru dari luar Tasikmalaya yang begitu linglung dan tidak tahu ke mana harus mendapatkan bahan yang diperlukan.
Yang menarik adalah, Bapak tak pernah absen mengunci pintu ruang kerjanya tiap kali hendak pergi meninggalkan ruangan itu. Ruangan itu tertutup penuh, pula tak ada jendela. Beliau semacam tahu bahwa aku berencana mengendap-endap masuk ke dalam saat Bapak pergi, dan mencari tahu apa yang beberapa hari terakhir dikata “rahasia” oleh Bapak itu.
Dan akhirnya, hari itu tiba.
Ini yang kulakukan pada pukul satu siang di suatu hari yang panas ketika kalender menunjukkan tanggal 18 September di hari Sabtu: aku mematut diri begitu lama di depan cermin. Bayangan yang kurasa belum juga terlihat begitu cantik itu menatapku balik. Empat-lima helai rambutku mencuat sedikit, kurapikan lagi hingga semua helai rambutku jatuh rapi-lembut. Helai kain berlengan pendek warna putih bermotif bunga merah muda besar-besar selutut juga tak lepas dari fokusku. Dan, ah, perona bibir dari Bapak. Kurasa itulah satu-satunya yang telah sempurna mengikat bibirku hingga senyumku terlihat begitu manis.
Sementara, kucuri intip seorang pria telah siap di luar sana. Berdiri resah menunggu gadis Tasikmalaya yang sedang diperjuangkan hatinya. Mengenal Andi yang juga teman kuliahku adalah hobi baru yang menyenangkan. Alisnya yang tebal suka ikut-ikut naik saat mata dan bibirnya menertawakan lelucon yang kubuat. Rambutnya hitam, sedikit keriting tapi terpangkas rapi. Tak pernah luput mengingatkan untuk menggenapkan shalat di kampus meskipun jadwal kuliah tak memberi kesempatan untuk jeda. Ah, Bapak yang lelaki saja terpikat, apalagi aku.
“Dor!” Bapak menepuk bahuku pelan, tapi, tetap saja aku kaget. Ketahuan aku sedang sibuk mengintip.
Bapak lantas mendahuluiku begitu saja, membukakan pintu yang sedari tadi diketuk Andi beberapa kali.
“Permisi, Bapak. Mayang ada?” suara Andi yang semerdu penyiar radio menyambut Bapak. Sedikit melirik ke belakang, Bapak memberi kode bahwa aku telah siap diajak kencan.
“Pak, Mayang pamit, ya” kuraih tangan Bapak, lalu kucium sambil mengirimkan getar batin agar Bapak mendoakanku dari jauh.
“Oiya, ini” Bapak menyerahkan sesuatu yang sedari tadi digenggamnya di tangan kiri. “Di luar panas. Bapak nggak mau Mayang dipulangin dalam keadaan gosong. Dipakai ya nanti”
Diserahkannya benda itu padaku. Sebuah payung. Kurentangkan tudungnya. Ini payung geulis, sudah lama sekali Bapak tidak membuat ini. Sekalipun membuat, Bapak lebih sering mencipta miniaturnya, banyak dipesan sebagai souvenir pernikahan, dulunya. Bertangkai bambu, payung ini terbentang cantik dengan tudung terbuat dari kertas khusus payung kerajinan. Senada sekali dengan baju selututku. Putih dengan lukisan bunga sakura merah muda. Jelas sebagai pengrajin, Bapak juga ahli dalam memainkan kuas dan warna.
Aku senang sekali. Ini kencan pertamaku dan Bapak menggenggamiku sebuah jimat, payung geulis. Konon, disebut payung geulis sebab jaman dahulu mojang-mojang geulis Tasikmalaya kerap memakai payung kertas seperti ini ke mana-mana untuk melindungi diri dari terik matahari. Bentuknya yang manis dan sederhana, selalu berhasil menyiratkan keanggunan tersendiri dari pemakainya. Tak ayal pemberian Bapak membuatku merasa cantik sempurna.
Bapak merangkul bahuku. “Dulu waktu Bapak kencan dengan ibumu, dia juga selalu bawa payung geulis” katanya. Rautnya mengenang semasa Ibu masih ada di antara kami berdua sebelum beliau meninggal karena serangan jantung sebelas tahun yang lalu.
Di saat seperti ini, aku merasa bersalah jika harus tumbuh dewasa dan meninggalkan Bapak. Sebagai satu-satunya orang tua yang membesarkanku dan menyaksikan tumbuh kembangku, Bapak mana yang tak merasa kehilangan ketika harus melepaskan putri semata wayangnya ke pelukan lelaki lain yang kelak akan mendampinginya? Jelas Bapak menampakkan raut takut kehilangan sekaligus damba kebahagiaan yang mau tak mau harus diberikan kepada gadisnya.

***

Sabtu siang itu, aku tak jadi ke mana-mana. Bersama Andi dan Bapak, kami bertiga duduk di pelataran teras rumah, menikmati terik matahari Tasikmalaya yang mengintip dari balik pot-pot tanaman gantung Bapak. Sepoci besar es teh manis tersaji dengan tiga gelas belimbing dan sepiring penuh donat kentang.
Ah, mungkin hanya aku yang menikmati siang itu. Bapak dan Andi tampak tegang. Dahinya berkerut-kerut menggambar berbagai macam strategi dalam otak masing-masing. Sedangkan aku hanya turut tertawa ketika salah satu dari mereka terkecoh dengan permainan bidak-bidak catur lawan. Sesekali, mereka istirahat, menikmati donat dan membicarakan burung merpati Bapak hingga membicarakan pemerintah daerah.
Sssstt, sebenarnya Sabtu itu tetap menjadi kencan pertamaku dengan Andi. Setelah Bapak memberiku sebuah payung geulis, Andi mengajakku berjalan kaki menyusuri deretan-deretan rumah di sekitarku. “Kita cari kue, kasihan Bapakmu di rumah sendirian. Biar kita temani Bapak hari ini”
Aduh, Bapak, baik sekali Andi. Tidakkah hal yang paling menyenangkan adalah melihat seseorang begitu peduli dengan orang yang kita sayangi? Perjalanan kaki yang hanya lima belas menit di bawah tudung payung geulis hasil kerjamu itu membuahkan satu debar jantung yang baru ketika Andi menggandeng tanganku, Pak. Entah keringat dingin macam apa yang tiba-tiba muncul dan membuat Andi menertawakanku, tapi tak juga melepaskannya dari tangannya yang begitu lembut menggenggam. Dan secara ajaib kami menghabiskan banyak sekali obrolan seolah kami telah melewati berjam-jam waktu berdua. 
Lima belas menit yang membuatku tahu bahwa pilihanmu, Pak, adalah pilihan yang tepat. 

2 komentar:

Bella Adilah mengatakan...

;'))))))))))) seandainya bisa aku share ke banyak orang supaya pada bisa baca cerpen bagus ini :)

Putripus mengatakan...

thankyew Bella :)

Posting Komentar

Silakan meninggalkan jejak :)

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com