Saya
kurang mengikuti perkembangan musik, memang. Apalagi live performance suatu
band. Selain karena faktor spasial yang kurang memadahi untuk tahu arah dan
jalan ke suatu tempat sehingga kurang memungkinkan untuk menyaksikan konser di
tempat yang jauh dari jangkauan, saya juga jarang kekurangan informasi tentang
acara gaul seperti itu. Tapi, jarang mengikuti bukan berarti tak pernah. Ketika
saya berada di tengah padat penonton yang tengah menyaksikan pertunjukan musik
band atau penyanyi solo terkenal, yang harus saya lakukan adalah menyaksikan
aksi panggung mereka dan leloncatam di tengah dentuman musik, atau minimalnya saya
harus bisa ikut menyanyikan lagu mereka.
Ini
klise, memang. Tapi saya sebal sekali sama orang yang rela gerah menghadiri
konser musik, tapi hanya puas menyaksikan dari layar. Saya sebal sama orang
yang tak tahu lagunya tapi bisa mendapatkan posisi stategis di depan stage. Saya
sebal sama orang yang tak meloncatkan badannya tinggi-tinggi ketika euforia
untuk mereka mengekspresikan diri dengan cara seperti itu telah terfasilitasi.
Saya
dan beberapa orang teman baru saja menyaksikan aksi panggung Sheila On 7, salah
satu band favorit saya dari dulu. Kami terlambat dan kehabisan tempat jauh
sebelum pertunjukan dimulai. Padat sekali. Riuh orang-orang berdiri dan menunggu.
Teman-teman laki-laki saya mencarikan jalan untuk mendekati stage. Keringat
bercucuran, pakaian kami basah. Saat Sheila On 7 telah menyanyikan beberapa
lagupun kami masih mencari jalan sambil komat-kamit ikut menyanyikan lagu yang
mereka bawakan, sampai akhirnya kami mentok hanya dapat menikmati dari layar di
sisi kanan panggung.
Saya
harus ke depan. Saya harus ke depan, begitu terus pikir saya. Tak akan sulit
menerobos begitu banyak orang dengan keringat bercucuran demi menyaksikan
sesuatu yang memang worth it. Maka saya maju sendiri, meninggalkan teman-teman
saya di belakang. Saya tidak akan pulang dengan rasa puas hanya menyaksikan
mereka dari layar. Saya pendek dam mata saya minus. Maka yang harus saya
lakukan adalah memosisikan diri saya pada suatu spot untuk dapat menyaksikan
aksi panggung mereka secara nyata.
Saya
terus maju meski teman saya menarik bahu dan berkata "Cukup, jangan maju
lagi". Tapi "cukup" itu belum benar-benar cukup untuk saya. Sampai,
saya berhenti di balik punggung orang-orang asing yang sudah jauh dari
teman-teman saya. Ini baru cukup. Saya bisa menyaksikan Sheila On 7 lebih
dekat, bukan hanya dari layar. Tepat saat mereka membawakan lagu terakhir di
Jatim Fair, Melompat Lebih Tinggi.
Iya,
itu yang saya harapkan. Crowd di
sekeliling saya begitu hidup. Mereka melompat tinggi tanpa takut terinjak,
bergoyang mengikut tempo. Mereka melambaikan tangan ke atas, bebas. Mereka
berteriak mengikuti lirik-lirik. Dan menjadi salah satu bagian dari
bagaimana-konser-seharusnya pada lagu terakhir adalah seperti perwujudan sebuah
doa. Akhir yang memuaskan.
As my Mom's ever said, "Kamu jadi orang jangan gampang menyerah", pada
situasi sesepele sebuah konser musikpun saya tak mau menjadi ada di baris
belakang dan menerima posisi saya apa adanya sejauh apa yang bisa saya tangkap.
Dan seingat saya, saya selalu melakukannya pada setiap konser penyanyi favorit
saya.
Ini
kejadian yang begitu sepele. Tapi saya melihat bagaimana saya melakukan sebuah proses,
pelajaran penting untuk saya di waktu-waktu yang akan datang. Saya manusia.
Saya tidak pernah puas. Dan itu menuntun saya pada doa dan pengabulan harapan. Because, if you want it, just go straight
for it. As simple as that.