Kamis, 15 Agustus 2013

Arloji


Pada otak kebanyakan orang, arloji adalah sebagai pengingat waktu. Yang berpikir seperti itu, rata-rata adalah orang yang merasa dirinya dikejar oleh waktu. Hah, dikejar? Akan lari ke mana?
Apa yang mereka pikirkan itu, kadang, adalah hal yang benar. Di balik kaca arloji tertata rapi deretan angka yang selalu berbentuk bulat, yang saling menunggu giliran untuk tersentuh jarum panjang. Begitu saja. Siapa mengejar siapa, kenapa harus manusia yang merasa tak nyaman dengan fenomena biasa itu?
Aku mengelus pergelangan tanganku. Bertengger melingkar sebuah arloji bertali kulit cokelat. Bukan arloji baru, tetapi tak seumurku pula. Arloji ini mati, jika kau mau jeli mengamati jarumnya yang tak bergerak. Jantungnya tak lagi berdetak, tak bernyawa.
Maka bagiku, arloji bukan lagi masalah waktu. Namun sebagai pengingat, benar. Pengingat tentang sekelebat kenangan yang masih menganga di ingatan. Tentang siapa pemberinya, tentang berapa lama waktu yang dilalui dengan jalan berdua sambil merangkulkan lengannya ke bahuku, tentang berapa banyak langkah yang dijejakkan dari awal bertemu hingga harus berpisah.
Sudah tak ada lagi kereta yang hendak pulang ke stasiun ini. Si perempuan ini akan pulang. Mungkin benar kata orang, bahwa kekasihnya telah meninggal di negeri seberang, bersamaan dengan hilangnya nyawa arloji ini. Mungkin benar kata orang, bahwa di setiap pertemuan pasti perpisahan.
Biar aku kembali pulang. Sayang, besok aku ke sini lagi. Siapa tahu nyawamu tertinggal dan menungguku di stasiun ini. Biar kupasrahkan diriku, besok, berbaring di atas rel kereta. Menunggumu meraih tanganku untuk bertemu kembali.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan meninggalkan jejak :)

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com