Pada
otak kebanyakan orang, arloji adalah sebagai pengingat waktu. Yang berpikir
seperti itu, rata-rata adalah orang yang merasa dirinya dikejar oleh waktu.
Hah, dikejar? Akan lari ke mana?
Apa
yang mereka pikirkan itu, kadang, adalah hal yang benar. Di balik kaca arloji tertata
rapi deretan angka yang selalu berbentuk bulat, yang saling menunggu giliran
untuk tersentuh jarum panjang. Begitu saja. Siapa mengejar siapa, kenapa harus
manusia yang merasa tak nyaman dengan fenomena biasa itu?
Aku
mengelus pergelangan tanganku. Bertengger melingkar sebuah arloji bertali kulit
cokelat. Bukan arloji baru, tetapi tak seumurku pula. Arloji ini mati, jika
kau mau jeli mengamati jarumnya yang tak bergerak. Jantungnya tak lagi
berdetak, tak bernyawa.
Maka
bagiku, arloji bukan lagi masalah waktu. Namun sebagai pengingat, benar.
Pengingat tentang sekelebat kenangan yang masih menganga di ingatan. Tentang
siapa pemberinya, tentang berapa lama waktu yang dilalui dengan jalan berdua
sambil merangkulkan lengannya ke bahuku, tentang berapa banyak langkah yang
dijejakkan dari awal bertemu hingga harus berpisah.
Sudah
tak ada lagi kereta yang hendak pulang ke stasiun ini. Si perempuan ini akan
pulang. Mungkin benar kata orang, bahwa kekasihnya telah meninggal di negeri
seberang, bersamaan dengan hilangnya nyawa arloji ini. Mungkin benar kata
orang, bahwa di setiap pertemuan pasti perpisahan.
Biar
aku kembali pulang. Sayang, besok aku ke sini lagi. Siapa tahu nyawamu
tertinggal dan menungguku di stasiun ini. Biar kupasrahkan diriku, besok,
berbaring di atas rel kereta. Menunggumu meraih tanganku untuk bertemu kembali.
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan meninggalkan jejak :)