Kamis, 01 Agustus 2013

Pakaian Pesta


Pakaian terbarunya, kabarnya, harganya lebih mahal daripada perabotan di ruang makan kami yang hanya terdiri dari meja kayu reyot dan empat kursi yang salah duanya hampir patah. Kubilang, kenapa harus membeli mahal-mahal, sementara hanya dipakai untuk pergi-pergi saja? Jawabnya, hidup butuh kepastian.
“Kalau memang acaranya formal, kenapa tidak kita pakai baju yang bagus sekalian? Kenapa harus memilih nyaman dengan kaus kusam dan celana panjang seadanya?” katanya sore itu, sepulangnya dari sebuah pusat perbelanjaan ternama di jantung kota.
Begini, untuk yang hidup serba pas-pasan sepertiku dengan jaringan pertemanan yang tak seluas dia, tentu, aku tak akan pernah sekalipun mendapatkan undangan pernikahan atau sekedar makan malam dengan setting yang begitu mewah sehingga aku harus menyesuaikan diri. Pesta terbaik yang pernah kuhadiri, pun hanya pernikahan anak sulung seorang tetangga baik, Amang Dani, yang digelar di pelataran rumahnya yang sederhana. Kubilang terbaik, sebab makanan sangat berlimpah hari itu. Mungkin karena rejeki Amang Dani melebihi jumlah undangan, maka keluarga kami ikut kebanjiran sisa-sisa makanan yang bahkan masih kami pertahankan hingga tiga hari. Tiga hari terbaik di mana kami tak perlu bingung menyisihkan uang untuk makan.
Mobil melaju perlahan, meninggalkan sisa-sisa keramaian pusat perbelanjaan, memasuki gang-gang kecil yang jarang terjangkau. Suaranya tak lagi terdengar sejak masuk tadi. Matanya masih terbungkus kacamata hitam yang besar. Mungkin sebab ia tak sedang mengenakan make up apapun pada matanya seperti biasa sehingga ia malu bahkan hanya untuk melepasnya sejenak.
“Berhentikan saya di ponten umum, yang agak bersih” katanya lagi, dengan suara kecil seperti sedang menahan sesuatu. Aku mengangguk saja menuruti perintah. Lagipula, suasana hatinya sedang kacau sekali dari semalam. Pulang dari Dubai dalam keadaan sakit, lalu harus bergerak cepat mempersiapkan diri untuk menghadiri sebuah pesta yang begitu mendadak. Siapa yang mau ada di posisinya?
Aku menghentikan mobil di depan sebuah musola kecil. Tepat dugaanku, alisnya mengernyit, seolah bertanya, “Mau apa?”
“Di sini saja, Nyonya. Susah cari ponten umum yang bersih. Kalau kamar mandi musola, sudah terjamin kebersihannya”, ujarku.
Perempuan itu menanggapi dengan datar, lalu keluar dan melenggang masuk mencari toilet wanita. Melihat ekspresinya, aku benar-benar yakin setelah ini aku akan diam saja. Benar-benar diam, bahkan tak akan kubuat kata-kata yang menyiratkan suatu candaan meskipun aku serius.
Tak lama, ia keluar. Ternyata ia mencari kamar mandi untuk berganti pakaian. Terusan kuning selutut—pakaian barunya yang mahal itu—kini menghiasi tubuhnya yang masih seperti gadis. Rambutnya masih terikat ke belakang, hanya saja sedikit lebih rapi dari tadi. Kaca mata hitam juga masih menggantung di wajahnya. Namun, sedikit perona pipi dan pemerah bibir kembali terpoles tipis, memunculkan kecantikannya.
Setelah ia memasuki mobil, kembali kami meluncur di tengah gemuruh petir yang menyayat-nyayat. Di atas sana, langit sedang mendung total.

***

Pesta, baru saja dimulai. Serupa pesta kebun, rupanya.
Majikanku yang cantik itu, turun dari mobil. Hak sepatunya terantuk-antuk kerikil di tanah. Langkahnya mengundang banyak mata untuk memandang. Ah, entahlah, aku rasa mungkin lebih karena pakaian yang dikenakannya, terusan kuning itu.
Seolah mengerti, kerumunan orang berpakaian serbahitam itu memecah barisan, menyediakan jalan untuk Sang Ratu lewat. Langkahnya begitu rapi, lurus berjalan tanpa tengokan-tengokan kecil menatap kerabat yang berdiri di kanan-kirinya.
Gerimis mulai turun. Aku memayunginya dari belakang. Tak sepertinya yang mengangkat dagu dan memanahkan pandangan lurus ke depan, aku lebih memilih untuk menunduk.
Di hadapan makam suaminya, ia bersimpuh. Tak ada tangis yang lebih menyayat dari tangis tanpa suara yang menderaskan air mata dan guncangan bahu yang begitu hebat.
Ia mencoba tetap cantik di balik busana terbarunya, persembahan terakhir bagi suaminya.


0 komentar:

Posting Komentar

Silakan meninggalkan jejak :)

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com