Pakaian
terbarunya, kabarnya, harganya lebih mahal daripada perabotan di ruang makan
kami yang hanya terdiri dari meja kayu reyot dan empat kursi yang salah duanya
hampir patah. Kubilang, kenapa harus membeli mahal-mahal, sementara hanya
dipakai untuk pergi-pergi saja? Jawabnya, hidup butuh kepastian.
“Kalau
memang acaranya formal, kenapa tidak kita pakai baju yang bagus sekalian?
Kenapa harus memilih nyaman dengan kaus kusam dan celana panjang seadanya?”
katanya sore itu, sepulangnya dari sebuah pusat perbelanjaan ternama di jantung
kota.
Begini,
untuk yang hidup serba pas-pasan sepertiku dengan jaringan pertemanan yang tak
seluas dia, tentu, aku tak akan pernah sekalipun mendapatkan undangan
pernikahan atau sekedar makan malam dengan setting
yang begitu mewah sehingga aku harus menyesuaikan diri. Pesta terbaik yang
pernah kuhadiri, pun hanya pernikahan anak sulung seorang tetangga baik, Amang
Dani, yang digelar di pelataran rumahnya yang sederhana. Kubilang terbaik,
sebab makanan sangat berlimpah hari itu. Mungkin karena rejeki Amang Dani
melebihi jumlah undangan, maka keluarga kami ikut kebanjiran sisa-sisa makanan
yang bahkan masih kami pertahankan hingga tiga hari. Tiga hari terbaik di mana
kami tak perlu bingung menyisihkan uang untuk makan.
Mobil
melaju perlahan, meninggalkan sisa-sisa keramaian pusat perbelanjaan, memasuki
gang-gang kecil yang jarang terjangkau. Suaranya tak lagi terdengar sejak masuk
tadi. Matanya masih terbungkus kacamata hitam yang besar. Mungkin sebab ia tak
sedang mengenakan make up apapun pada
matanya seperti biasa sehingga ia malu bahkan hanya untuk melepasnya sejenak.
“Berhentikan
saya di ponten umum, yang agak bersih” katanya lagi, dengan suara kecil seperti
sedang menahan sesuatu. Aku mengangguk saja menuruti perintah. Lagipula,
suasana hatinya sedang kacau sekali dari semalam. Pulang dari Dubai dalam
keadaan sakit, lalu harus bergerak cepat mempersiapkan diri untuk menghadiri
sebuah pesta yang begitu mendadak. Siapa yang mau ada di posisinya?
Aku
menghentikan mobil di depan sebuah musola kecil. Tepat dugaanku, alisnya
mengernyit, seolah bertanya, “Mau apa?”
“Di
sini saja, Nyonya. Susah cari ponten umum yang bersih. Kalau kamar mandi
musola, sudah terjamin kebersihannya”, ujarku.
Perempuan
itu menanggapi dengan datar, lalu keluar dan melenggang masuk mencari toilet
wanita. Melihat ekspresinya, aku benar-benar yakin setelah ini aku akan diam
saja. Benar-benar diam, bahkan tak akan kubuat kata-kata yang menyiratkan suatu
candaan meskipun aku serius.
Tak
lama, ia keluar. Ternyata ia mencari kamar mandi untuk berganti pakaian. Terusan
kuning selutut—pakaian barunya yang mahal itu—kini menghiasi tubuhnya yang
masih seperti gadis. Rambutnya masih terikat ke belakang, hanya saja sedikit
lebih rapi dari tadi. Kaca mata hitam juga masih menggantung di wajahnya. Namun,
sedikit perona pipi dan pemerah bibir kembali terpoles tipis, memunculkan
kecantikannya.
Setelah
ia memasuki mobil, kembali kami meluncur di tengah gemuruh petir yang
menyayat-nyayat. Di atas sana, langit sedang mendung total.
***
Pesta,
baru saja dimulai. Serupa pesta kebun, rupanya.
Majikanku
yang cantik itu, turun dari mobil. Hak sepatunya terantuk-antuk kerikil di
tanah. Langkahnya mengundang banyak mata untuk memandang. Ah, entahlah, aku
rasa mungkin lebih karena pakaian yang dikenakannya, terusan kuning itu.
Seolah
mengerti, kerumunan orang berpakaian serbahitam itu memecah barisan,
menyediakan jalan untuk Sang Ratu lewat. Langkahnya begitu rapi, lurus berjalan
tanpa tengokan-tengokan kecil menatap kerabat yang berdiri di kanan-kirinya.
Gerimis
mulai turun. Aku memayunginya dari belakang. Tak sepertinya yang mengangkat
dagu dan memanahkan pandangan lurus ke depan, aku lebih memilih untuk menunduk.
Di
hadapan makam suaminya, ia bersimpuh. Tak ada tangis yang lebih menyayat dari tangis
tanpa suara yang menderaskan air mata dan guncangan bahu yang begitu hebat.
Ia
mencoba tetap cantik di balik busana terbarunya, persembahan terakhir bagi suaminya.
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan meninggalkan jejak :)