“Baru
pulang dari pendakian ke gunung mana, Mas?” tanyaku sore itu, waktu matahari
sore sedang giat memberi kesan gerah dan menjadikan sore semakin terasa
melelahkan di langit-langit kota. “Semeru? Gede? Jaya Wijaya?”
Senyumnya
tak tanggung tersungging dengan leluasa, untukku yang hanya seorang asing.
“Jalan-jalan saja, bukan dari pendakian manapun” katanya.
Dengan
keringat yang bercucuran seperti itu, di muka hingga bisepnya, mustahil aku
percaya. Apalagi, tengah ia pikul ransel besar yang kutaksir berisi peralatan
bekal hidup di gunung. Celana selutut dan sepatu yang kumal dan penuh bercak
tanah membuatku semakin yakin bahwa lelaki ini hanya berusaha merendah. Maklum,
tak semua orang sanggup melakukan pendakian, baik secara fisik maupun sarana pendukung
lain untuk singgah lama di sana. Menemui orang seperti ini, sore-sore begini,
di kota besar seperti ini, agaknya sangat susah. Karenanya, orang yang
melakukan pendakian dianggap keren. Mungkin
sebab itulah ia merendah, pikirku.
“Mau
es teh, Mas? Kelihatannya butuh minum” aku mencoba menawarinya, kelelahan
terlihat sedang menggantungkan hidup kepadanya. Lagipula, ini hari pertamaku
bekerja di warung Pak Asnan. Mungkin ini bukan kebetulan. Mungkin laki-laki ini
memang diharuskan lewat agar segelas
es teh terbeli. Dengan begitu, aku bisa menunjukkan kepada Pak Asnan bahwa
keponakannya ini sedikit bisa menarik pembeli.
“Boleh,
yang es batunya banyak, ya” jawabnya. Kemudian menaruh ranselnya di atas kursi
kayu panjang di luar jendela warung.
Aku
segera masuk, menuang es batu yang banyak ke dalam satu gelas bening yang agak
besar, disusul dengan menuang racikan teh manis dari dalam teko aluminium yang
sudah disiapkan istri Pak Asnan agar tak membiarkan pembeli menunggu terlalu
lama. “Ini, Mas, silakan diminum”
Tegukannya
besar-besar, masuk ke dalam kerongkongan hingga menimbulkan bunyi glek, glek, yang begitu jelas. Tak lama,
segelas besar es teh manis telah habis, tersisa bongkahan es batu yang belum
sempat mencair. “Makasih ya Mbak” katanya sambil menaruh gelas di samping
tempat duduknya.
“Sama-sama,
Mas. Dua ribuan, boleh langsung dibayar, boleh nanti, boleh ngutang juga
asalkan besok datang lagi” sahutku, keseriusan yang kubungkus dengan candaan.
Maklum, akhir-akhir ini—kata Pak Asnan—supir-supir angkot sering berhenti dan main comot gorengan
lalu pergi tanpa membayar. Tujuh ratus lima puluh per gorengan, kalau sekali
comot bisa terambil tiga dan dalam sehari ada lima supir angkot yang
melakukannya, bisa turun drastis gajiku.
“Hahaha,
santai Mbak, nanti saya bayar” jawabnya sambil tersenyum lebar. “Mbak, kok tahu
kalau saya dari gunung?” tanyanya.
Nah, tepat.
“Wah, walaupun sekolah saya nggak tinggi, Mas, kalau lihat penampilan Mas
seperti itu sudah jelas habis turun gunung, hehehe”
“Iya,
Mbak. Sudah waktunya pulang. Lusa hari penting buat saya Mbak, naik gunung
barusan cuma untuk nyari ketenangan walaupun nggak sampai puncak”
“Oh
ya? Hari penting apa, Mas?”
“Pernikahan
saya, Mbak. Persiapan sudah beres semua, makanya saya berani ninggal ke gunung.
Katanya, waktu ijab itu lebih nervous daripada siding skripsi ya,
Mbak? Makanya saya nyari ketenangan, di gunung. Pas saya mau sidang skripsi
dulu aja seminggu nggak turun-turun, Mbak”
“Wah,
saya doakan lancar ya Mas, ya”
“Aamiin,
makasih ya Mbak” katanya sambil kembali memamerkan senyum yang makin lama makin
terasa akrab itu. “Mbak, ini uangnya. Kembaliannya ambil aja. Saya harus
buru-buru pulang. Kamis malam gini pasti jalannya padat”.
Aku
sedikit ternganga. Ah, mungkin terlalu lelah lelaki ini, pikirku. Hingga
menyangka sore-sore cerah begini sebagai malam. Lagipula, ini hari Sabtu, bukan
Kamis. Atau mungkin dia hanya salah ucap. Bukan hal yang perlu diperdebatkan.
Kuterima selembar uang lima ribu rupiah dari tangannya, dan sesuai
permintaannya, tak kukembalikan tiga ribu rupiahhnya. Sedang aku hanya melempar
senyum.
“Pinter
juga kamu ngelayani orang gila” kata Pak Asnan dari belakang, tak lama setelah
lelaki itu memasuki sebuah gang dan menghilang dari pandangan.
Aku
masih tak paham.
“Namanya
David. Gila karena tahun lalu, sepulang dari pendakian, rumah calon istrinya
yang juga tetangganya itu mengalami kebakaran. Dia, ibunya, dan satu adiknya
meninggal. Pacaran enam tahun dan pernikahannya gagal”
“Kejadiannya
Kamis malam?”
“Iya,
Nduk”
Glek.
Kali ini kerongkonganku seolah menenggak es batu bulat-bulat.
2 komentar:
Gak nyangka sama ending ceritanya. Menarik puss :)
makasiiih :)
Posting Komentar
Silakan meninggalkan jejak :)