Kemarin—akhirnya—matahari
terbit.
Kau
tidak bisa membayangkan kebahagiaan macam apa yang hinggap di desa kami, ketika—akhirnya—matahari
terbit. Sinarnya seolah hinggap di wajah-wajah yang lelah menanti itu. Mereka
bergegas, menyelesaikan hal-hal yang tak bisa dilakukan ketika matahari
tenggelam begitu lama dalam dunia yang entah.
Perempuan-perempuan
tambun berdaster itu segera mencuci pakaian-pakaian yang menumpuk selama
sebelas hari. Mereka menjemurnya di tali-tali kawat dengan wajah suka cita.
Pria-pria
berkumis sibuk berolahraga di luar. Matahari terbit. Waktu yang tepat untuk
menguras keringat dan menyehatkan badan. Sebelas hari bekerja tanpa henti,
pulang malam, makan banyak, lalu tidur. Sebelas hari mereka menimbun lemak di
mana-mana. Istri mereka tak begitu senang dengan lemak yang terlalu.
Lain
lagi dengan anak-anak itu, yang memilih bermain di luar. Sebelas hari tak ada
matahari. Akhirnya matahari terbit. Kulit-kulit mereka yang tadinya terlalu
kaku, perlahan mengendur. Waktunya bermain tanpa henti. Waktunya bersenang-senang
di luar.
Kemarin—akhirnya—matahari
terbit. Tak lama, sebentar saja.
Aku
bisa melihat rasa syukur melayang di mana-mana.
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan meninggalkan jejak :)