Ini
adalah dunia baru. Tempat di mana aku dikata berdosa ketika menerjemahkan rindu
dalam kosakata yang berlebihan. Maka aku adalah pendosa terlihai. Merindukan kepak-kepak
elok kenangan dalam diam. Membiarkannya merambati jutaan sel darah, merasuki
tiap nadi. Aku merajuk rinduku untuk lepas dari raga. Karena, siapa kau hingga
perlu kuracaui rasa ini hingga menahun?
Aku
tak pernah lagi mengaisi masa lalu. Tapi, mengais adalah serupa yang tak sama
dengan menangis. Pekat rindu ini seperti serbuk teh yang kubiarkan mengendap
terlalu banyak, terlalu banyak. Butuh lebih dari tiga sendok teh gula untuk
mengacaukan pahitnya. Dan toples gulaku kosong tak bersisa.
Ketika
bara adalah satu-satunya cara menghanguskan rindu hingga tak bersisa, maka, di
dunia ini, telah kuseduh rinduku dengan bara neraka bersama hati dan jiwaku.
Luluh lanta. Mengabu dan beterbangan menjadi debu. Tapi, masih saja aku
mengharap debu-debu itu akan sampai pada rumahmu. Biar kau baca dalam sunyimu.
Biar menghentak denyut jantung di dadamu. Biar kau sadari betapa aku rela
mengorbitkan kepercayaanku pada sebuah karma.
Aku
malu pada bahagia lain yang menungguku pulang. Sedangkan ketidakhadiranmu di
pintuku membuatku enggan menapaki kembali definisi bahagia. Lagipula, dosaku
telah mengubun, membuncah membawaku pergi ke langit yang entah lapisan
keberapa.
Tuhan,
telah Kau jatuhkan aku ribuan kali. Telah Kau ajarkan aku bagaimana cara
menangis untuk menjadi kuat hingga bagaimana harus kususun sendiri
retakan-retakanku. Sekali saja, peluk aku. Sekarang juga, sebelum kau nerakakan
aku. Karena aku adalah pendosa yang menyimpan rindu berlebihan dibalik serpihan
yang telah kususun rapi.