Serbuk-serbuk
hitam tergores bebas di atas hamparan kertas putih yang hanya seukuran A5.
Lepas dan tandas begitu saja tanpa mau berhenti. Menebal, menipis, menebal,
menipis. Mengarsir.
Ya,
mengarsir.
Rena
sedang mengarsir tujuh puluh dua jendela dari sebelas gedung pencakar langit
yang berjajar di tanah bumi. Tujuh puluh dua jendela persegi dengan ukuran
serupa, dari sebelas gedung pencakar langit dengan tinggi dan lebar yang
berbeda stau sama lain. Gedung-gedung yang berhimpitan tanpa jeda.
Beranjak
ke arsiran jendela ke-73, 74, 75. Tempo arsirannya semakin cepat, tekanannya
semakin kuat. Ada arsiran amarah di hati Rena yang tak kunjung reda. Tertuang
dalam gambar penuh makna yang dimuntahkannya selama lima belas menit
belakangan.
Tangisan
Rena pecah, hening tak bersuara. Deras air matanya meleleh membanjiri meja
kerjanya.
***
Rena
tertidur. Kamarnya gelap. Tersisa cahaya temaram yang masuk dari jendela kaca
yang terbuka tirainya. Rena terlalu lelah menangis. Maskaranya luntur, meluncur
jatuh ke pipinya hingga mengering.
Dari
balik jendela kacanya, Rena melihat sebuah jendela.
Dari
balik jendela yang dipandangi Rena dari jendela kamarnya, sepasang kekasih
tertidur berpelukan di depan televisi yang masih menyala. Pemandangan yang sama
yang disaksikan Rena lepas pukul sepuluh malam.
Rena
akan menangis melunturkan maskaranya, seperti hari-hari sebelumnya. Rena akan
menangis hingga ketiduran di meja kerja yang dipenuhi gambar bangunan-bangunan
berjendela.
Itu
kekasih Rena. Yang bisa dilakukan Rena tiap malamnya hanya merutuki jendela, mata keduanya, melalui puluhan sketsanya. Tak sanggup melawan lebih karena Rena hanya yang kedua.
1 komentar:
Keren dah. mantap nih infonya
Posting Komentar
Silakan meninggalkan jejak :)