Minggu, 25 November 2012

74 Jendela


Serbuk-serbuk hitam tergores bebas di atas hamparan kertas putih yang hanya seukuran A5. Lepas dan tandas begitu saja tanpa mau berhenti. Menebal, menipis, menebal, menipis. Mengarsir.
Ya, mengarsir.
Rena sedang mengarsir tujuh puluh dua jendela dari sebelas gedung pencakar langit yang berjajar di tanah bumi. Tujuh puluh dua jendela persegi dengan ukuran serupa, dari sebelas gedung pencakar langit dengan tinggi dan lebar yang berbeda stau sama lain. Gedung-gedung yang berhimpitan tanpa jeda.
Beranjak ke arsiran jendela ke-73, 74, 75. Tempo arsirannya semakin cepat, tekanannya semakin kuat. Ada arsiran amarah di hati Rena yang tak kunjung reda. Tertuang dalam gambar penuh makna yang dimuntahkannya selama lima belas menit belakangan.
Tangisan Rena pecah, hening tak bersuara. Deras air matanya meleleh membanjiri meja kerjanya.

***

Rena tertidur. Kamarnya gelap. Tersisa cahaya temaram yang masuk dari jendela kaca yang terbuka tirainya. Rena terlalu lelah menangis. Maskaranya luntur, meluncur jatuh ke pipinya hingga mengering.
Dari balik jendela kacanya, Rena melihat sebuah jendela.
Dari balik jendela yang dipandangi Rena dari jendela kamarnya, sepasang kekasih tertidur berpelukan di depan televisi yang masih menyala. Pemandangan yang sama yang disaksikan Rena lepas pukul sepuluh malam.
Rena akan menangis melunturkan maskaranya, seperti hari-hari sebelumnya. Rena akan menangis hingga ketiduran di meja kerja yang dipenuhi gambar bangunan-bangunan berjendela.
Itu kekasih Rena. Yang bisa dilakukan Rena tiap malamnya hanya merutuki jendela, mata keduanya, melalui puluhan sketsanya. Tak sanggup melawan lebih karena Rena hanya yang kedua.

1 komentar:

Internet Gratis mengatakan...

Keren dah. mantap nih infonya

Posting Komentar

Silakan meninggalkan jejak :)

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com