Sabtu, 17 November 2012

Sandiwara Nyata


Ruangan serbahitam itu gelap dengan sendirinya. Gelap yang melapangkan dirinya untuk menaungi kami. Berdua, berbanyak, hingga sendiri. Tak ada lampu sorot yang akan menikam wajah-wajah melankolis kami yang tengah terduduk lesu pada kursi-kursi kayu yang tampak reyot. Sebab ini bukanlah sebuah panggung tempat segala senyap emosi perlu didramatisasi.
Aku diredam rasa tenang di sini. Di tempat yang jauh dari kilatan cahaya. Di tempat yang jauh dari bising kendaraan. Di tempat yang jauh dari cuap-cuap bibir pemunafik. Di tempat yang jauh dari dentuman musik.
Tenang? Tidak juga. Ini adalah rasa sepi yang merayap pada pori-pori dan merasuk begitu saja membanjiri darah di sekujur tubuh. Aku sedang dekat dengan kilatan cahaya, tepi jalan yang dipenuhi kendaraan, riuh obrolan pemunafik yang saling tikam, juga nada-nada yang berdebum.
Tapi faktanya, ada sebuah rasa sepi yang menyeretku jauh tak terhingga. Menyisakan dua piring steak dan dua gelas soda di atas meja tempatku bernaung dari tadi. Satu telah bersih-habis, yang satu entah tak kunjung datang yang menghabiskan.
Mungkin benar, aku sedang berada dalam pertunjukan panggung sandiwara. Aku perlu disorot lampu sebagai pemeran utama. Agar orang tahu, aku layak dituju.
Tirai tertutup perlahan, diakhiri lantunan lagu-lagu patah hati. Penonton keluar tanpa tepuk tangan. Drama berujung pada akhir yang menggantung. Di balik layar, tangisku terkatung-katung.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan meninggalkan jejak :)

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com