Ruangan
serbahitam itu gelap dengan sendirinya. Gelap
yang melapangkan dirinya untuk menaungi kami. Berdua, berbanyak, hingga sendiri.
Tak ada lampu sorot yang akan menikam wajah-wajah melankolis kami yang tengah
terduduk lesu pada kursi-kursi kayu yang tampak reyot. Sebab ini bukanlah
sebuah panggung tempat segala senyap emosi perlu didramatisasi.
Aku
diredam rasa tenang di sini. Di tempat yang jauh dari kilatan cahaya. Di tempat
yang jauh dari bising kendaraan. Di tempat yang jauh dari cuap-cuap bibir
pemunafik. Di tempat yang jauh dari dentuman musik.
Tenang?
Tidak juga. Ini adalah rasa sepi yang merayap pada pori-pori dan merasuk begitu
saja membanjiri darah di sekujur tubuh. Aku sedang dekat dengan kilatan cahaya,
tepi jalan yang dipenuhi kendaraan, riuh obrolan pemunafik yang saling tikam,
juga nada-nada yang berdebum.
Tapi
faktanya, ada sebuah rasa sepi yang menyeretku jauh tak terhingga. Menyisakan
dua piring steak dan dua gelas soda
di atas meja tempatku bernaung dari tadi. Satu telah bersih-habis, yang satu
entah tak kunjung datang yang menghabiskan.
Mungkin
benar, aku sedang berada dalam pertunjukan panggung sandiwara. Aku perlu
disorot lampu sebagai pemeran utama. Agar orang tahu, aku layak dituju.
Tirai
tertutup perlahan, diakhiri lantunan lagu-lagu patah hati. Penonton keluar
tanpa tepuk tangan. Drama berujung pada akhir yang menggantung. Di balik layar,
tangisku terkatung-katung.
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan meninggalkan jejak :)