Jumat, 16 November 2012

Lepas


Halo, Pa.
Akhirnya, aku menulis lagi buat kamu, Pa, setelah tulisan terakhir bulan Maret lalu. Lama, ya. Anak macam apa aku yang kurang berusaha menanggalkan ingatan tentang ayahnya melalui satu-satunya cara agar ingatan jangka panjangku bekerja ini.
Pa, masih ingat percakapan terpanjang kita, terakhir kalinya sebelum Papa masuk rumah sakit lalu meninggal? “Maaf, Papa udah kayak gini keadaannya, nggak bisa nganterin kamu ke mana-mana lagi. Kamu sebentar lagi kuliah, maaf Papa nggak bisa dampingi kamu kayak waktu kakak-kakakmu kuliah dulu. Kamu yang mandiri, harus berani” begitu tuturmu.
Tadi malam, Pa, pukul setengah sembilan, aku pulang dari Surabaya. Itu kali pertama aku menempuh perjalanan malam yang begitu rawan. Aku selamat, sampai rumah tepat waktu. Tapi tiba-tiba aku kangen sekali denganmu, Pa. Tidak ada telepon dan SMS masuk berkali-kali menanyakan akan pulang jam berapa. Tidak ada yang menunggu aku di ruang tamu sampai ketiduran, lalu diam. Diam karena marah aku pulang malam. Diam karena khawatir aku kenapa-napa.
Tidak ada lagi yang dalam diamnya berkata “Papa iki sayang karo awakmu, tapi awakmu gak sayang karo Papa”.
Ada Mama, memang. Tapi Papa paham, kan perbedaan rasanya?
Lalu malam sebelumnya, kita dipertemukan dalam mimpiku, Pa. Tapi bukan mimpi yang baik. Kita duduk berdua semeja, di sebuah rumah makan di tepi jalan. Lalu segerombolan anak kecil melewati kita, sedang berkarnaval membawa balon dan kostum lucu-lucu.
Kita duduk berhadapan. Papa begitu dingin dan aku menangis, begitu marah dengan keadaan. Begitu marah dengan kepergian Papa yang langsung saja melepasku untuk melakukan segala sesuatu sendirian. Aku marah dan menangis sejadinya sambil memukul-mukul meja. Dan Papa tetap diam.
Aku terbangun, Pa, dengan perasaan kehilangan yang besar sekali. Jauh lebih besar dari hari-hari sebelumnya.
Papa baik-baik, kan, di sana? Minta sama Allah, datang ke mimpiku dalam keadaan yang baik.
Oiya, ada seorang teman yang sedang bertaruh nyawa setelah operasi pendarahan otak, Pa. Kritis. Lalu, lagi-lagi aku ingat siang itu ketika aku tidak bisa menghentikan air mata yang terjun bebas, menuntunmu melafalkan “Allah, Allah” pada sakaratul maut-mu.
Aku tidak akan bisa lupa bagaimana gemetaran di sekujur tubuh ketika mengabarkan pada kakak bahwa Papa sedang kritis. Juga bagaimana rasanya ketika Papa tidak mengenali aku lagi.
Pa, kangen sekali rasanya.
Boleh minta peluk?

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan meninggalkan jejak :)

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com