Kamis, 15 Agustus 2013

Rencana Tahun Lalu


“Baru pulang dari pendakian ke gunung mana, Mas?” tanyaku sore itu, waktu matahari sore sedang giat memberi kesan gerah dan menjadikan sore semakin terasa melelahkan di langit-langit kota. “Semeru? Gede? Jaya Wijaya?”
Senyumnya tak tanggung tersungging dengan leluasa, untukku yang hanya seorang asing. “Jalan-jalan saja, bukan dari pendakian manapun” katanya.
Dengan keringat yang bercucuran seperti itu, di muka hingga bisepnya, mustahil aku percaya. Apalagi, tengah ia pikul ransel besar yang kutaksir berisi peralatan bekal hidup di gunung. Celana selutut dan sepatu yang kumal dan penuh bercak tanah membuatku semakin yakin bahwa lelaki ini hanya berusaha merendah. Maklum, tak semua orang sanggup melakukan pendakian, baik secara fisik maupun sarana pendukung lain untuk singgah lama di sana. Menemui orang seperti ini, sore-sore begini, di kota besar seperti ini, agaknya sangat susah. Karenanya, orang yang melakukan pendakian dianggap keren. Mungkin sebab itulah ia merendah, pikirku.
“Mau es teh, Mas? Kelihatannya butuh minum” aku mencoba menawarinya, kelelahan terlihat sedang menggantungkan hidup kepadanya. Lagipula, ini hari pertamaku bekerja di warung Pak Asnan. Mungkin ini bukan kebetulan. Mungkin laki-laki ini memang diharuskan lewat agar segelas es teh terbeli. Dengan begitu, aku bisa menunjukkan kepada Pak Asnan bahwa keponakannya ini sedikit bisa menarik pembeli.
“Boleh, yang es batunya banyak, ya” jawabnya. Kemudian menaruh ranselnya di atas kursi kayu panjang di luar jendela warung.
Aku segera masuk, menuang es batu yang banyak ke dalam satu gelas bening yang agak besar, disusul dengan menuang racikan teh manis dari dalam teko aluminium yang sudah disiapkan istri Pak Asnan agar tak membiarkan pembeli menunggu terlalu lama. “Ini, Mas, silakan diminum”
Tegukannya besar-besar, masuk ke dalam kerongkongan hingga menimbulkan bunyi glek, glek, yang begitu jelas. Tak lama, segelas besar es teh manis telah habis, tersisa bongkahan es batu yang belum sempat mencair. “Makasih ya Mbak” katanya sambil menaruh gelas di samping tempat duduknya.
“Sama-sama, Mas. Dua ribuan, boleh langsung dibayar, boleh nanti, boleh ngutang juga asalkan besok datang lagi” sahutku, keseriusan yang kubungkus dengan candaan. Maklum, akhir-akhir ini—kata Pak Asnan—supir-supir  angkot sering berhenti dan main comot gorengan lalu pergi tanpa membayar. Tujuh ratus lima puluh per gorengan, kalau sekali comot bisa terambil tiga dan dalam sehari ada lima supir angkot yang melakukannya, bisa turun drastis gajiku.
“Hahaha, santai Mbak, nanti saya bayar” jawabnya sambil tersenyum lebar. “Mbak, kok tahu kalau saya dari gunung?” tanyanya.
Nah, tepat. “Wah, walaupun sekolah saya nggak tinggi, Mas, kalau lihat penampilan Mas seperti itu sudah jelas habis turun gunung, hehehe”
“Iya, Mbak. Sudah waktunya pulang. Lusa hari penting buat saya Mbak, naik gunung barusan cuma untuk nyari ketenangan walaupun nggak sampai puncak”
“Oh ya? Hari penting apa, Mas?”
“Pernikahan saya, Mbak. Persiapan sudah beres semua, makanya saya berani ninggal ke gunung. Katanya, waktu ijab itu lebih nervous daripada siding skripsi ya, Mbak? Makanya saya nyari ketenangan, di gunung. Pas saya mau sidang skripsi dulu aja seminggu nggak turun-turun, Mbak”
“Wah, saya doakan lancar ya Mas, ya”
“Aamiin, makasih ya Mbak” katanya sambil kembali memamerkan senyum yang makin lama makin terasa akrab itu. “Mbak, ini uangnya. Kembaliannya ambil aja. Saya harus buru-buru pulang. Kamis malam gini pasti jalannya padat”.
Aku sedikit ternganga. Ah, mungkin terlalu lelah lelaki ini, pikirku. Hingga menyangka sore-sore cerah begini sebagai malam. Lagipula, ini hari Sabtu, bukan Kamis. Atau mungkin dia hanya salah ucap. Bukan hal yang perlu diperdebatkan. Kuterima selembar uang lima ribu rupiah dari tangannya, dan sesuai permintaannya, tak kukembalikan tiga ribu rupiahhnya. Sedang aku hanya melempar senyum.
“Pinter juga kamu ngelayani orang gila” kata Pak Asnan dari belakang, tak lama setelah lelaki itu memasuki sebuah gang dan menghilang dari pandangan.
Aku masih tak paham.
“Namanya David. Gila karena tahun lalu, sepulang dari pendakian, rumah calon istrinya yang juga tetangganya itu mengalami kebakaran. Dia, ibunya, dan satu adiknya meninggal. Pacaran enam tahun dan pernikahannya gagal”
“Kejadiannya Kamis malam?”
“Iya, Nduk
Glek. Kali ini kerongkonganku seolah menenggak es batu bulat-bulat.


2 komentar:

soulful^^~ mengatakan...

Gak nyangka sama ending ceritanya. Menarik puss :)

Putripus mengatakan...

makasiiih :)

Posting Komentar

Silakan meninggalkan jejak :)

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com