Jumat, 22 Juli 2011

Pasar


source : Google

Pasar tradisional itu salah satu tempat favorit saya. Apalagi di bagian ikan dan sayur. Dan apalagi, kalau masih pagi. Riuh suara orang saling tawar harga, aromanya yang pasar-banget, jalan sempit yang becek, desak-desakan, dan yang paling ‘wow’ adalah barang-barang yang diperdagangkan benar-benar masih fresh.
Saya suka melihat belut-belut yang menari di dalam bak hitam dengan air dangkal seadanya, cumi-cumi besar, udang-udang dalam berbagai ukuran, brokoli hijau tua, wortel yang oranyenya menyala seperti senja, bumbu-bumbu dapur yang baru dicabut dari tanahnya. Apa ya, ajaib mungkin. Segala sesuatu di dalam pasar itu menyenangkan.
Dan lagi, orang-orangnya yang masih tradisional. Memakai kebaya jaman dulu dan sewek (jarik atau kain batik untuk bawahan). Tangan-tangan keriput para penjual yang sigap mengambil ini-itu dari tempatnya sesuai pesanan, menimbang, lalu membungkusnya—kadang rapi, kadang berantakan—untuk diserahkan pada pembeli. Asyik. Mereka cekatan.
Bukankah yang namanya waktu juga secekatan tangan ibu-ibu itu ? Waktu itu terus berpindah, maju ke depan. Tidak pernah mundur. Waktu itu cekatan mengambil momen-momen penting dalam keseharian. Kalau kamu tidak teliti, bisa jadi kamu menyesal di belakang ketika ternyata kamu tidak bisa bersahabat dengan waktu. Kamu bisa kehilangan momen penting.
Maka, berjalan di pasar yang becek dan berdesak-desakan dengan para pembeli mengingatkan saya bahwa bahkan kadang untuk berjalan itu tidak mudah, butuh strategi agar tida terinjak di sana-sini. Butuh strategi agar tidak salah langkah. Agar sampai rumah, tidak ada kejadian salah-membeli-barang.
Agar pada akhirnya, waktu tidak membuat kita menyesali yang sudah-sudah.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan meninggalkan jejak :)

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com