“Susu
melon itu, susu yang dicampur sirup melon”
“Hah?
Aku masih percaya kalau susu melon itu saripati murni buah melon”
“Kalau
itu jus melon!”
“Eh,
siapa tahu selama ini melon punya payudara seperti sapi?”
“Ck,
dasar laki-laki!”
Badannya
rebah pada sandaran kursi tunggu di halte bus. Bibirnya masih terus menyeruput
susu rasa melon dalam sebuah bungkus plastik yang tersambung dengan sedotan
hijau.
“Why so serious?”
Alisnya
berkernyit melirikku, suaranya kemudian bungkam hingga bus datang dan membawa kami
pulang.
Kami
tak pernah sama. Dia tak pernah sejalan dengan hidup penuh khayal yang
kurangkai sedemikian rupa. Pula aku, tak pernah sepaham mengapa sebuah canda
selalu terbawa serius olehnya. Tapi toh
kita masih saling ada untuk satu sama lain, hampir satu dekade ini.
Dan
itu cukup.
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan meninggalkan jejak :)