Kita
tak akan bisa lama bertemu. Pada Minggu di penghujung Senin, aku akan
mengantarmu pulang, sebab besok pagi-pagi sekali sebuah mobil akan menjemputmu
pada rutinitas bersekolah.
Sayang,
kunikmati dua hari ini dengan penuh tawa. Bagaimana caramu berjalan dan
berdiskusi dengan kata-kata abstrak begitu kukagumi lebih dari puluhan model
cantik bertubuk seksi pada billboard-billboard
yang berdiri kokoh di sepanjang jalan yang kita berdua lewati.
“Kamu
harus banyak makan” katamu waktu itu, sambil menggoyang-goyangkan kakimu yang
menggantung pada kursi ketinggian yang kau duduki. Entah dari mana kau pelajari
sebaris kalimat itu. Telak menghunusku, bahwa aku masih memiliki kamu.
Bagaimana aku bisa menemanimu dalam waktu-waktu yang lama jika aku makin ringkih
dan tak berusaha memerhatikan kesehatanku?
Sementara,
kau masih tenang memakan kebab di restauran cepat saji yang kita hampiri Sabtu
kemarin. Sausnya belepotan di kedua ujung bibirmu. Kubiarkan begitu, karena kau
terlalu menarik dengan segala kepolosan yang kau punya, dibanding untuk
diajarkan pada aturan-aturan makan yang tak akan selesai dalam satu malam.
“Aku
mau ulang tahun” lanjutmu. Pemicaraanmu selalu melompat-lompat seperti kelinci,
dari satu tempat, berpindah pada tempat lain. Tapi, itulah. Bersamamu, aku tak
pernah menggalakkan otakku untuk berpikir terlalu dalam.
“Ica
mau apa?” tanyaku bersungguh-sungguh sambil membelai rambutnya yang nyaris
cokelat terkena sinar matahari.
“Mau…
omelet!” telunjukmu mengarah ke atas, seperti mendapatkan ide. Spontan, tapi
kembali menghunusku. Sudah lama sekali tak kubuatkan kau omelet mi dengan
wortel dan kacang polong, makanan favoritmu sepanjang masa. Lagi-lagi aku
merasa berdosa.
“Oke,
pinkie promise” aku menyodorkan
kelingkingku. Kelingkingmu yang begitu mungil segera menyambutnya.
Maka,
tak ada yang lebih kubenci dari Minggu malam di penghujung Senin pagi. Ketika
erat pelukanku tak lagi bisa menghentikan keadaan yang bergulir. Ketika segala
gelak tawa selama dua hari setiap minggu tak mampu lagi menjadi obat penawar
racun-racun rindu. Ketika aku harus mengantarmu sampai ke depan pintu rumahmu
dan berucap “Tidur yang nyenyak, Sayang, rajin sekolah biar minggu depan bisa
bertemu lagi”
Kupeluk
kau sekali lagi. Lebih erat dari sebelumnya, seolah tak akan lagi tersisa hari
untuk kita bertemu. Kuhirup dalam-dalam aroma tubuhmu yang begitu lembut. Andai
bisa, ingin kusimpan dalam kantung plastic agar bisa kuhirup sewaktu-waktu aku
membutuhkan kau. Kemudian perempuan itu membukakan pintu, ibumu.
“Terlalu
malam, Mas, pulang jam segini. Harusnya dari jam sembilan dia sudah tidur”
katamu, lantas aku menengok jarum jam yang menunjuk tegas angka sebelas.
“Aku
masih kangen. Biarlah, dia juga belum ngantuk” kilahku.
“Jangan
dibiasakan” ibumu dengan cepat merengkuhmu, memindahkanmu dari pelukanku,
hingga mendarat ke pelukannya. Demi Tuhan, meski kualami adegan ini layaknya sebuah
siklus, tetap saja ini begitu menyakitkan.
“Minggu
depan, boleh kuajak dia dari hari Jumat? Ayolah, Sabtu ke Minggu itu terlalu
singkat. Aku kangen sekali” pintaku.
“Lihat
besok, Mas. Sudah, sana pulang. Besok Ica sekolah”
Aku
menatapmu untuk yang terakhir. Kau masih terlalu lugu untuk memahami yang
terjadi. Sepengetahuanmu, aku hanya sedang pergi untuk bekerja. Dan kau pahami
itu sebagai keharusanku, maka tak pernah kau menuntutku untuk selalu ada. Itu
saja. Pada detik-detik terakhir seperti itulah, bibir mungilmu berkata “I love you, Pa. Nice to meet you”
“I love you too, my baby” ujarku
lirih. Senyumku lusuh. Aku berbalik gontai meninggalkan mereka berdua. Dia
seperti angin. Seberapa lamapun kupeluk, dia tetap bukan milikku utuh.
Kebradaannya tak tergenggam.
Pada
Minggu malam di penghujung Senin, kuseka calon air mata yang hendak menetes. Tenang, masih ada minggu-minggu berikutnya, kataku
dalam hati.
“Tak terasa gelap pun jatuh
Di ujung malam, menuju pagi yang dingin
Hanya ada sedikit bintang malam ini
Mungkin karena kau sedang cantik-cantiknya
Di ujung malam, menuju pagi yang dingin
Hanya ada sedikit bintang malam ini
Mungkin karena kau sedang cantik-cantiknya
Lalu mataku merasa malu
Semakin dalam ia malu kali ini
Kadang juga ia takut
Tatkala harus berpapasan ditengah pelariannya
Semakin dalam ia malu kali ini
Kadang juga ia takut
Tatkala harus berpapasan ditengah pelariannya
Di malam hari
Menuju pagi
Sedikit cemas
Banyak rindunya”
Menuju pagi
Sedikit cemas
Banyak rindunya”
Payung
Teduh, Untuk Perempuan yang Sedang dalam Pelukan
2 komentar:
Bikin buku dong. ntar gue beli deh :)
aamiin. doain aja yaa :)
Posting Komentar
Silakan meninggalkan jejak :)