Aku
melihat senja di pantai dalam kaus berlatar putih yang kau kenakan.
Gemilang
oranye senja terpantul pada permukaan air laut, meliuk hingga membentuk sudut
yang mengerucut. Lantas di depan sana matahari tenggelam perlahan dengan
gagahnya. Meninggalkan semburat pesona warna terang yang romantis di awan-awan
sebelum petang meleburnya.
Kau
pernah bilang, pada suatu hari, bahwa kau ingin menjadi matahari tenggelam di
pantai. Kau ingin menjadi yang dicari banyak orang. Atau setidaknya, kala
waktumu kembali pada Tuhan telah datang, kau ingin meninggalkan keindahan untuk
banyak orang. Kau berkata demikian tepat saat kita sedang rebahan di atas pasir
pantai ketika langit menyajikan senjanya, membiarkan ombak kecil menyapu kita
berdua.
Aku
hanya diam sambil membenci diam-diam keinginanmu yang satu itu. Kau bukan
matahari tenggelam di pantai. Kau bukan pula bintang yang bersinar anggun
di kelamnya langit. Bahkan kau bukan bunga cantik di taman. Kau tahu? Mereka
hanya mengada dalam waktu yang tak lama. Matahari akan hilang saat malam.
Bintang akan hilang saat pagi datang. Bunga akan mati berserah diri pada musim.
Sedangkan kau, kau adalah waktu 24 jam yang selalu ada. Ketika dini hari
merayap lagi, kau tak pernah mati dalam ingatanku. Kau tak pernah gagal
memelukku dalam dekapan yang begitu mampu meluluhlantakan ketidaksempurnaan
hariku. Kau lebih dari pendamping. Kau membuatku mempercayai segala kata
mutiara tentang belahan jiwa dan cinta sejati.
Kau
belum pernah meninggalkanku seperti matahari yang meninggalkan senja di pantai.
Setidaknya,
hingga minggu lalu, kita resmi bercerai.
Untuk
pertama dan terakhir kalinya, kita menangis tersedu berdua di atas sofa merah
marun yang kita beli sebelas tahun yang lalu sebagai pelengkap rumah di
kehidupan kita yang baru. Kau menangis atas keberanianku menjalin hubungan
gelap dengan pelacur kelas atas, sedang aku menangis sebab aku merasa mati
tiba-tiba atas kebodohanku menyiakan wanita sesempurnamu. Adalah nafsu yang
kala itu menjalari nadi hingga mengalir tak memedulikan kata hati. Bersamanya,
aku seperti mencandui ekstasi yang tak bisa kuhentikan.
Lantas,
kita bercerai. Kau yang menceraikan aku. Mematikan saklar hubungan sebelas
tahun yang begitu hebat dan menyenangkan, tetapi kuprak-porandakan dengan
sedemikian bejatnya.
Kau
tahu, Sayang? Pada senja di pantai yang terlukis dalam kaus berlatar putih yang
kau kenakan saat sidang perceraian kita minggu lalu, aku melihatmu pergi dan
meninggalkan segala kebaikan yang hingga kini kunanti kembali setiap hari.
Kau
berhasil menjadi apa yang kau inginkan.
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan meninggalkan jejak :)