Minggu, 16 September 2012

Kau Berhasil Menjadi Senja di Pantai


Aku melihat senja di pantai dalam kaus berlatar putih yang kau kenakan.
Gemilang oranye senja terpantul pada permukaan air laut, meliuk hingga membentuk sudut yang mengerucut. Lantas di depan sana matahari tenggelam perlahan dengan gagahnya. Meninggalkan semburat pesona warna terang yang romantis di awan-awan sebelum petang meleburnya.
Kau pernah bilang, pada suatu hari, bahwa kau ingin menjadi matahari tenggelam di pantai. Kau ingin menjadi yang dicari banyak orang. Atau setidaknya, kala waktumu kembali pada Tuhan telah datang, kau ingin meninggalkan keindahan untuk banyak orang. Kau berkata demikian tepat saat kita sedang rebahan di atas pasir pantai ketika langit menyajikan senjanya, membiarkan ombak kecil menyapu kita berdua.
Aku hanya diam sambil membenci diam-diam keinginanmu yang satu itu. Kau bukan matahari tenggelam di pantai. Kau bukan pula bintang yang bersinar anggun di kelamnya langit. Bahkan kau bukan bunga cantik di taman. Kau tahu? Mereka hanya mengada dalam waktu yang tak lama. Matahari akan hilang saat malam. Bintang akan hilang saat pagi datang. Bunga akan mati berserah diri pada musim. Sedangkan kau, kau adalah waktu 24 jam yang selalu ada. Ketika dini hari merayap lagi, kau tak pernah mati dalam ingatanku. Kau tak pernah gagal memelukku dalam dekapan yang begitu mampu meluluhlantakan ketidaksempurnaan hariku. Kau lebih dari pendamping. Kau membuatku mempercayai segala kata mutiara tentang belahan jiwa dan cinta sejati.
Kau belum pernah meninggalkanku seperti matahari yang meninggalkan senja di pantai.
Setidaknya, hingga minggu lalu, kita resmi bercerai.
Untuk pertama dan terakhir kalinya, kita menangis tersedu berdua di atas sofa merah marun yang kita beli sebelas tahun yang lalu sebagai pelengkap rumah di kehidupan kita yang baru. Kau menangis atas keberanianku menjalin hubungan gelap dengan pelacur kelas atas, sedang aku menangis sebab aku merasa mati tiba-tiba atas kebodohanku menyiakan wanita sesempurnamu. Adalah nafsu yang kala itu menjalari nadi hingga mengalir tak memedulikan kata hati. Bersamanya, aku seperti mencandui ekstasi yang tak bisa kuhentikan.
Lantas, kita bercerai. Kau yang menceraikan aku. Mematikan saklar hubungan sebelas tahun yang begitu hebat dan menyenangkan, tetapi kuprak-porandakan dengan sedemikian bejatnya.
Kau tahu, Sayang? Pada senja di pantai yang terlukis dalam kaus berlatar putih yang kau kenakan saat sidang perceraian kita minggu lalu, aku melihatmu pergi dan meninggalkan segala kebaikan yang hingga kini kunanti kembali setiap hari.
Kau berhasil menjadi apa yang kau inginkan.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan meninggalkan jejak :)

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com