Iko,
kalau kau baik-baik saja, mengapa lorong ini terasa begitu panjang hingga
langkah-langkahku yang gontai tak juga menemui sebuah ujung di mana mereka
bilang kau telah rebah dan hilang kesadaran sebab sebuah motor melaju kencang
dan menabrakmu tanpa ampun? Aku melihat beberapa bercak darah tersapu kasar di
lantai UDG, kuharap itu bukan milikmu.
Bukankah
hari lalu kita masih duduk dalam satu meja yang sama, menikmati segelas kopi
untukmu dan segelas teh untukku di sebuah kafe favorit kita? Kau ceritakan
betapa menguras waktunya pekerjaan yang dulu kau perjuangkan mati-matian itu
sebagai seorang desainer grafis di sebuah perusahaan ternama. Ada gurat-gurat
resah dan nada ingin menyerah dalam pembicaraanmu. Tapi kita berdua selalu
tahu, Iko, bahwa lelah hanya sementara. Dia seperti badai kecil yang berkecamuk
dalam beberapa waktu, lalu pergi lagi. Yang terpenting adalah seberapa kuat kau
berpegang pada doa bahwa kau akan selamat. Itu saja. Karena kau bukanlah
pengibar bendera putih yang menyukai kalah begitu saja.
Iko,
jantungku berdebam keras, seperti gong yang dipukul berkali-kali. Meninggalkan
gema yang begitu menakutkan, ketika seorang pria meneleponku menggunakan handphone-mu, mengabarkan kecelakaan
yang baru saja menimpamu. Jika aku menjadi pria itu, pasti aku akan melakukan
hal yang sama, yaitu menghubungi seorang Laras, yang namanya memenuhi inbox dan daftar panggilanmu. Pria itu
melakukan langkah yang tepat, Iko. Tapi aku, aku adalah seekor kutu yang
terjebak dalam situasi yang salah. Aku linglung menggapai mana yang harus
kuselesaikan. Di tengah presentasi dengan bos-bos besar yang sedang kulakukan
untuk menyambung nasibku sebagai seorang karyawan yang sedang dipromosikan, aku
memilih pergi, Iko. Aku memilihmu. Setidaknya, aku hanya akan dipecat dan akan
limbung untuk sementara mencari pekerjaan baru. Tapi jika aku kau pecat sebagai
sahabat, ke mana lagi aku harus mencari orang sepertimu? Yang sama persis
denganmu. Karena aku tidak mau yang lain.
Mendadak
intro lagu Wish You Well milik Katie Herzig mendarat di kepalaku, terputar
otomatis. Kau begitu menyukai lagu sendu ini, Iko. Pernah kau kirim sebuah link dalam pesan singkat setahun lalu,
pagi setelah kita bertengkar hebat. Kubuka saat itu juga. Adalah kamu, yang
sedang duduk dengan sebuah gitar, menyanyikan lagu ini. Pula ketika kita sedang
berada di kafe itu, lagu ini terputar sebagai pengiring pembicaraan kita. Lagu
sendu yang selalu mengingatkan kita berdua untuk saling mendoakan, untuk tak
memisahkan diri, untuk selalu ada.
Iko,
aku mulai curiga. Aku ingin kembali. Bukankah UGD ini sudah terlalu jauh? Tak
kutemui lagi pasien-pasien lain dan tirai-tirai ruang perawatan yang semestinya
ada. Mungkinkah petugas tadi salah memberika petunjuk jalan? UGD ini hampir
habis.
Di
luar ruangan paling ujung yang petugas itu bilang, kakak dan ibumu berdiri,
berpelukan dengan isak tangis yang seakan merenggut kebahagiaan. Langkahku
melambat, Iko. Bersamaan dengan itu, kakakmu yang lain melihat dan
menghampiriku, lantas memelukku. Erat sekali, Iko. Dan tak lama kemudian, aku
mendongak ke atas dan menyadari bahwa kami sedang sama-sama berdiri di ruang
paling ujung UGD ini: kamar jenazah.
Iko,
pandanganku kabur. Masih kurasakan pelukan kakakmu, tapi pada waktu yang sama,
kudengar dia memanggil namaku dengan sangat keras. “Laraaaassss!!”
Tubuhku
terjatuh ke lantai. Bangunkan aku, Iko.
“I, I want to wish you well
I didn’t watch you go
Cause I suppose I don’t know how
I, I will remember you
Not the way you left but how you lived
And what you knew
I, I want to feel your hands
I want to feel your fire burning
Right from where I stand”
I didn’t watch you go
Cause I suppose I don’t know how
I, I will remember you
Not the way you left but how you lived
And what you knew
I, I want to feel your hands
I want to feel your fire burning
Right from where I stand”
Katie Herzig, Wish You Well
4 komentar:
Good plot..;)
terima kasih :)
nice story.... klik me also on fokuz9.blogspot.com
thaaaanks :)
Posting Komentar
Silakan meninggalkan jejak :)