Kamis, 20 September 2012

Lorong


Iko, kalau kau baik-baik saja, mengapa lorong ini terasa begitu panjang hingga langkah-langkahku yang gontai tak juga menemui sebuah ujung di mana mereka bilang kau telah rebah dan hilang kesadaran sebab sebuah motor melaju kencang dan menabrakmu tanpa ampun? Aku melihat beberapa bercak darah tersapu kasar di lantai UDG, kuharap itu bukan milikmu.
Bukankah hari lalu kita masih duduk dalam satu meja yang sama, menikmati segelas kopi untukmu dan segelas teh untukku di sebuah kafe favorit kita? Kau ceritakan betapa menguras waktunya pekerjaan yang dulu kau perjuangkan mati-matian itu sebagai seorang desainer grafis di sebuah perusahaan ternama. Ada gurat-gurat resah dan nada ingin menyerah dalam pembicaraanmu. Tapi kita berdua selalu tahu, Iko, bahwa lelah hanya sementara. Dia seperti badai kecil yang berkecamuk dalam beberapa waktu, lalu pergi lagi. Yang terpenting adalah seberapa kuat kau berpegang pada doa bahwa kau akan selamat. Itu saja. Karena kau bukanlah pengibar bendera putih yang menyukai kalah begitu saja.
Iko, jantungku berdebam keras, seperti gong yang dipukul berkali-kali. Meninggalkan gema yang begitu menakutkan, ketika seorang pria meneleponku menggunakan handphone-mu, mengabarkan kecelakaan yang baru saja menimpamu. Jika aku menjadi pria itu, pasti aku akan melakukan hal yang sama, yaitu menghubungi seorang Laras, yang namanya memenuhi inbox dan daftar panggilanmu. Pria itu melakukan langkah yang tepat, Iko. Tapi aku, aku adalah seekor kutu yang terjebak dalam situasi yang salah. Aku linglung menggapai mana yang harus kuselesaikan. Di tengah presentasi dengan bos-bos besar yang sedang kulakukan untuk menyambung nasibku sebagai seorang karyawan yang sedang dipromosikan, aku memilih pergi, Iko. Aku memilihmu. Setidaknya, aku hanya akan dipecat dan akan limbung untuk sementara mencari pekerjaan baru. Tapi jika aku kau pecat sebagai sahabat, ke mana lagi aku harus mencari orang sepertimu? Yang sama persis denganmu. Karena aku tidak mau yang lain.
Mendadak intro lagu Wish You Well milik Katie Herzig mendarat di kepalaku, terputar otomatis. Kau begitu menyukai lagu sendu ini, Iko. Pernah kau kirim sebuah link dalam pesan singkat setahun lalu, pagi setelah kita bertengkar hebat. Kubuka saat itu juga. Adalah kamu, yang sedang duduk dengan sebuah gitar, menyanyikan lagu ini. Pula ketika kita sedang berada di kafe itu, lagu ini terputar sebagai pengiring pembicaraan kita. Lagu sendu yang selalu mengingatkan kita berdua untuk saling mendoakan, untuk tak memisahkan diri, untuk selalu ada.
Iko, aku mulai curiga. Aku ingin kembali. Bukankah UGD ini sudah terlalu jauh? Tak kutemui lagi pasien-pasien lain dan tirai-tirai ruang perawatan yang semestinya ada. Mungkinkah petugas tadi salah memberika petunjuk jalan? UGD ini hampir habis.
Di luar ruangan paling ujung yang petugas itu bilang, kakak dan ibumu berdiri, berpelukan dengan isak tangis yang seakan merenggut kebahagiaan. Langkahku melambat, Iko. Bersamaan dengan itu, kakakmu yang lain melihat dan menghampiriku, lantas memelukku. Erat sekali, Iko. Dan tak lama kemudian, aku mendongak ke atas dan menyadari bahwa kami sedang sama-sama berdiri di ruang paling ujung UGD ini: kamar jenazah.
Iko, pandanganku kabur. Masih kurasakan pelukan kakakmu, tapi pada waktu yang sama, kudengar dia memanggil namaku dengan sangat keras. “Laraaaassss!!”
Tubuhku terjatuh ke lantai. Bangunkan aku, Iko.




“I, I want to wish you well
I didn’t watch you go
Cause I suppose I don’t know how
I, I will remember you
Not the way you left but how you lived
And what you knew

I, I want to feel your hands
I want to feel your fire burning
Right from where I stand”

Katie Herzig, Wish You Well

4 komentar:

3fa mengatakan...

Good plot..;)

Putripus mengatakan...

terima kasih :)

Kuz9 mengatakan...

nice story.... klik me also on fokuz9.blogspot.com

Putripus mengatakan...

thaaaanks :)

Posting Komentar

Silakan meninggalkan jejak :)

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com