Liontin
emas kecil berbentuk pesawat itu berdenting dengan liontin cincin yang
sama-sama menggantung dalam satu rantai kalung sepanjang pergerakan kakinya.
Leher yang jenjang itu menampakkan jelas kedua liontin mungil yang sangat manis
ikut bergoyang bersama langkah kakinya.
Sebuah
agenda kecil bersampul bahan kulit warna cokelat dikeluarkannya dari tas
setelah dia menemukan tempat duduk yang pas di restaurant masakan Jepang itu.
Di antara segala note dan catatan
yang digores dengan tinta hitam pada kolom hari ini, sebaris kata tampak begitu
menonjol tertulis dengan tinta warna merah besar-besar: HE’S COME!
“Nanti sore aku sampai di Jakarta,
sekitar pukul tiga”
“Biar nanti sore aku jemput di
bandara”
“Nggak usah repot-repot. Aku bawa
barang banyak, mau ke apartemen dulu. Tidur sejam-dua jam. Ketemu nanti di
resto biasa, jam tujuh”
Sarah
menepati janjinya. Tepat pukul tujuh. Menunggu seorang lelaki yang datang
setiba-tiba perginya. Berkata ingin liburan ke Bangkok dan tak mau direcoki
segala jenis orang dari Indonesia. Dan menghilanglah Ian selama enam bulan,
tanpa kabar sebarispun.
Di
tengah pengharapan Sarah yang begitu besar akan Ian yang datang tepat waktu,
pintu restauran berdecit. Dengan cepat mata Sarah menangkap sesosok Ian yang
berbeda.
Enam
bulan waktu yang cukup lama, ternyata. Badan Ian makin gemuk dan terlihat makin
segar, tak sekuyu dulu. Dagunya ditumbuhi serumpun jenggot yang rapi. Juga,
kemeja merah maroon—hadiah ulang tahun dari Sarah tahun lalu—menempel pas di
badannya yang terlihat sedikit lebih bidang. Sarah tersenyum. Kemeja kebesaran
itu akhirnya dikenakan Ian, dan betapa hal itu berhasil membuat degup jantung
Sarah terpompa dua kali lebih hebat.
***
Liontin
emas kecil berbentuk pesawat itu tak pernah berdenting lagi sejak malam itu.
Ada yang hilang. Liontin cincin tak lagi tergantung pada tempat yang sama.
Sejalan dengan hati Sarah. Tak ada lagi denting-denting keceriaan yang hinggap
di wajahnya. Ada yang terampas.
***
“Sarah,
cincin itu sudah waktunya turun dari leher kamu”
Sarah
masih ingat betul percakapan itu. Inti dari tahun-tahun kedekatan mereka yang
ditunggunya sejak lama. Kepulangan ini, mungkin waktu yang tepat bagi Ian untuk
memakaikan cincin itu ke lingkar jari Sarah.
“Minggu
depan, aku sama Cindy mau tunangan”
“Cindy?
Cindy siapa?”
“Aku
ketemu dia di Bangkok. Waktu berjalan cepat, Sarah, sekaligus terasa begitu
lama selama aku ada di sana. I’m
thirty-something years old and this is the first time I believe that there’s a such
thing in this world called love-at-the-first-sight. I love her. I wanna ask her
to marry me. Sarah, I’m a soon-to-be husband for a great woman like Cindy. Aku
bahagia”
Ada
jeda yang begitu lama, menguap dari kepala Sarah begitu saja, bersamaan dengan
cekat di tenggorokan yang menahannya untuk bicara. Dia memutar lambat bagaimana
Ian mengucapkan dua kata itu: “Aku bahagia”.
“Ingat
waktu aku beli cincin itu sama kamu? It’s
ridiculous, right? Aku minta kamu untuk menyimpan cincin itu sampai tiba
saatnya aku jatuh cinta hingga ingin menikahi seseorang”
“Jadi?
Mm, kenapa harus aku?”
“Kamu
teman terbaikku, Sarah. Sekaligus kebaikanmu ada di ambang batas teratas
kebaikan perempuan-perempuan yang aku kenal. I’m sure that we were meant to be a bestfriend till the end of the day.
It’s an honor bisa menitipkan cincin itu ke kamu, sambil aku berharap akan
tiba saatnya aku bisa bertemu perempuan lain yang sebaik kamu. Dan dialah Cindy,
the one I wanna live my life with”
***
Liontin
emas kecil berbentuk pesawat itu tak pernah berdenting lagi sejak malam itu.
Ada yang hilang. Liontin cincin tak lagi tergantung pada tempat yang sama.
Sejalan dengan hati Sarah. Tak ada lagi denting-denting keceriaan yang hinggap
di wajahnya. Ada yang terampas.
Dalam
ruangannya, Sarah menangis sesenggukan. Ian menemui takdirnya, sementara Sarah
harus menghadapi kenyataan penantian empat tahun yang sia-sia. Sarah hanya
cukup menerima liontin berbentuk pesawat dari Ian meski hatinya meronta
menginginkan cincin untuk Cindy.
Sarah
telah menerka takdir yang salah.
“This is tiring. Still, can I be
yours for a day? A day…”
Stars and Rabbits, Like It Here
3 komentar:
mencari jejak sajah ah... gmw meninggalkan jejak... salam coklat ( i didn't like keju )
semacam friendzoned :D
benul :)
Posting Komentar
Silakan meninggalkan jejak :)