Rabu, 17 November 2010

Di Sini, Di Stasiun


Aku menaruh harapanku pada gerbong-gerbong kereta yang berlalu-lalang, memecahkan hampir semua imajinasiku siang itu. Ini sudah pukul dua belas lebih lima menit, terhitung dari dua jam yang lalu aku merebahkan ragaku di sini.

Rel-rel itu masih tetap keras. Sekeras pikiranku yang mulai berkarat, sekarat. Aku bukannya tak mau mendengar semua celotehan busuk mereka. Mereka anggap itu benar. Lantas bagaimana kalau kenyataannya berbalik 360 derajat ? aku harap letak bibir mereka pun akan berbalik, agar mereka bisa lebih berhati-hati sebelum meracuni pikiranku.

Aku yakin kamu akan datang. Tak hanya akan, tapi pasti !

Itu, kan janjimu ? bahkan mereka semua mendengarnya. Rama akan datang hari ini, 16 November. Demi Tuhan, aku mendengarmu memintaku untuk menunggu kedatanganmu di stasiun ini, pukul sepuluh lebih lima menit tepatnya. Kamu pasti pasti datang, Rama. Aku mengenalmu lebih dari sekedar perkenalan biasa. Rama bukan pembohong.

Aku terus membiarkan orang-orang penenteng beban-beban itu menuruni gerbong-gerbong kereta. Aku terus membiarkannya.

Aku di sini, Rama. Kamu pasti bisa melihatku. Duduk tepat di tepi kursi hijau panjang, tempat di mana lima tahun lalu kamu pernah mengecup keningku mesra sebelum kamu pergi, ke Jakartamu, untuk melanjutkan pendidikanmu di perguruan tinggi. Kamu bilang, kamu akan kembali setelah berhasil meraih gelar sarjanamu.

Kereta berangkat lagi, datang lagi.

Fotomu makin erat kugenggam. Makin sesak menunggumu, aku tahu. Aku ingin pulang saja, tapi aku harus membuktikan kepada mereka bahwa kamu pasti datang. Fotomu semakin erat kugenggam. Foto yang tercetak di atas sebuah undangan pernikahan.

Kamu tampan, Rama. Dengan busanamu yang serbaputih—warna kesukaanmu. Kenapa tak kau pakai saja busana serbahitam ? Hitam, tanda berkabung karena hari ini, 16 November, kamu akan kehilangan aku—dan aku kehilangan kamu.

Fotomu makin erat kugenggam.

Terhitung delapan jam aku di sini. Suasana makin sepi, makin lengang, membius seluruh nadiku. Aku mati rasa. Mati rasa.

Rama, terima kasih untuk tidak pulang bersamaku. Pembuktianku gagal. Mereka benar, berkata bahwa kamu menikahi perempuan lain.

Tapi, bagaimana kalau aku beri kamu toleransi keterlambatan dua jam lagi, atau mungkin tiga.

Lalu aku akan pulang. Tanpa kamu.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan meninggalkan jejak :)

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com