Senin, 04 Juli 2011

Nasib


“Jangan ngerokok lagi”, Ibu menarik puntung rokok yang masih sepanjang dua ruas jari dari bibirku, menghunusnya ke dalam sebuah asbak biru yang penuh abu.
“Gini lho, Bu. Ibu ngelarang aku ngerokok, tapi Ibu sendiri minum bercangkir-cangkir kopi. Apa bedanya ?” tanyaku heran. Ini pertanyaan yang sudah lama tersumbat tiap kali ibu berusaha menghentikan kecanduanku itu.
Ibu beranjak ke dapur, meninggalkanku yang masih duduk mengamatinya dari meja kecil yang ibu sebut sebagai meja makan. Kalau mau mendengar kejujuranku, aku tidak pernah menganggap ini meja makan. Meja kayu ini terlampau kecil dan reyot. Ibu tak pernah menaruh makanan apapun di atasnya, kecuali sebuah tudung makan hijau yang kadang ditemani gelas kosong sisa kopi atau air putih. Ya, ibu tak pernah memasak di rumah.
“Beda”, jawab ibu singkat kemudian. “Kopi itu cuma pengganti karena Ibu nggak suka minum teh. Lha kamu, ya rokok, ya bir, semuanya masuk mulut. Kapan sehatnya kalau kamu begitu terus ?” lanjutnya. “Lagipula Ibu nggak segila itu minum kopi sampai habis bergelas-gelas sehari. Lihat kantongmu, baru sejam gajian bisa langsung amblas buat bayar hutang rokok sama bir di warungnya Mas Asep. Belum lagi kalau kamu kalah judi”.
Aku cuma menggeleng pelan, ibu tak pernah mau disalahkan. “Ah, kayak Ibu nggak pernah tau gimana laki-laki dewasa aja. Bapak-bapakku kan tiga-tiganya juga kayak gini, jangan pura-pura belum terbiasa, Bu” godaku sambil sedikit mengungkit masa lalu ibu.
Kudengar ibu berdecak, jengkel mungkin. Aku memang suka menggoda ibu, membahas tiga mantan suaminya yang seperti angin, pergi begitu saja tanpa kabar, nggak jelas juntrungannya, kata ibu. Mungkin kebiasaanku minum-minum, judi, dan menenteng rokok ke mana-mana ini juga tidak jauh-jauh terinspirasi dari mereka. Sering sekali—waktu bapak-bapakku masih ada—aku diajak ke warung, diajari main judi biar bisa jadi laki-laki tulen, preman lebih tepatnya.
Ayahku sendiri adalah suami pertama Ibu. Untung aku anak semata wayang ibu. Kalau tidak, entah bagaimana repotnya wanita itu mengurus anak-anak lainnya dengan kehidupan yang sangat pas-pasan seperti ini, apalagi tanpa suami yang bisa diandalkan untuk membiayai keperluan sehari-hari. Karena itulah ibu jarang di rumah, membantu Bu Imah jualan di depotnya atau sekali-kali jadi buruh cuci di kampung. Lumayan, untuk makan dan kebutuhan pokok lainnya.
Sementara aku, cuma tukang bangunan yang hanya bekerja kalau ada proyek. Itupun proyek kecil-kecilan, ecek-ecek. Belum tentu aku bisa mendapat gaji tiap bulan, tergantung kontraktornya.
“Makanya, jangan jadi kayak bapak-bapakmu”, ujar ibu sambil menaruh segelas kopi panas di hadapanku. Ibu sendiri kemudian sudah duduk manis di dekatku dengan secangkir kopinya. “Dua pernikahanmu sudah gagal gara-gara watak bejatmu itu. Jangan cari istri lagi kalau belum bisa berubah”.
Aku tersenyum kecil, lantas menyeruput kopiku. “Aku nggak kayak bapak-bapakku kok, Bu. Justru aku kayak Ibu, kan ? Sama-sama punya nasib nggak bisa langgeng rumah tangganya”.
Ibu tergelak, tawanya yang khas menggelegar memenuhi ruangan yang sempit ini. Seolah kalah telak dengan ucapanku barusan. “Siapa suruh kamu jadi anakku ? Kalau bisa milih jadi anaknya artis, mungkin kamu nggak sesial ini”.
“Sial tapi enak kok, Bu. Kalau aku masih punya istri juga siapa tahu aku jadi jarang ketemu Ibu”, jawabku jujur.
“Nah, laki-laki yang sayang sama ibunya itu baru laki-laki dewasa”. Ibu meneguk lagi kopinya, peluh-peluh di dahi ikut menetes ke dalam cangkirnya.
Malam begini, di rumah cuma ada dua bola lampu yang remang. Tapi tak pernah senyaman ini di tempat lain. Pada akhirnya, kita hanya bisa duduk menertawakan nasib. Kitalah aktris dan aktornya, dalam hidup buatan Tuhan. Nikmati saja, dengan rokokmu, dengan kopimu, dengan birmu, dengan segala kekuranganmu.
Seperti itulah kami.

2 komentar:

soulful^^~ mengatakan...

bagus puisinya pus..
pengen belajar bikin puisi kayak gini ke kamu deh :)

Putripus mengatakan...

puisi ? :O

Posting Komentar

Silakan meninggalkan jejak :)

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com