Rabu, 02 November 2011

Konde Ibu (bagian 1)

Aku memandangi Ibu yang bertaut begitu lama di hadapan cermin. Gincunya merah merekah, penuh memoles bibir yang dihiasi tahi lalat kecil di ujung kirinya. Bedaknya tak kalah tebal, memutihkan kulit wajah Ibu yang sejatinya kuning langsat.
Aku masih diam terpaku, mengintip Ibu dari balik kusen pintu kamarnya. Baju dan tanganku begitu hitam dan kotor, jejak oli masih menempel di sana-sini sejak kuperbaiki rantai sepedaku tadi. Tak akan diijinkan aku memasuki kamar Ibu yang begitu sakral : banyak kebaya dan kostum panggung di sana-sini.
“Bu, aku boleh ndak pakai konde? Yang kayak punya Ibu, yang itu..” pintaku pelan, menunjuk ke arah sebuah konde yang masih terbungkus rapi dalam kotak kardus kecil. Dari sekian banyak konde milik Ibu, yang itu satu favoritku. Entahlah, itu hanya sebuah konde sederhana. Tapi tiap kali aku melihat Ibu memakai konde itu di pementasan, aku seperti kerasukan dan hanya bisa diam terpesona melihat Ibu yang begitu cantik memikat. Ah, aku hanya ingin secantik Ibu, sebenarnya.
“Boleh nduk. Bilang saja sama Bapakmu, jangan suka mangkas rambutmu seenak udel-nya sendiri. Paling nggak, rambutmu panjangnya sebahu supaya Ibu bisa masang konde itu di rambutmu” jawab Ibu, sambil menebalkan alisnya dengan pensil alis. Membuatnya sedikit lebih naik dan sedikit lebih panjang.
Aku meraba kepalaku dengan tanganku yang masih hitam beroli. Rambutku tak kunjung panjang. Bapak hobi sekali mencukur rambutku hingga habis. Di sekolah, aku selalu menjadi bahan olokan teman-teman karena aku tak punya rambut seperti laki-laki, tapi aku mengenakan rok dan anting-anting.
“Tapi rambutku kapan panjangnya, Bu ?” tanyaku lirih.
Ibu terlihat berhenti mempercantik alisnya, lantas memandangku yang belum berpindah dari kusen pintu kamarnya. “Besok-besok, kalau Bapakmu sudah akur sama Ibu”

***

[ bersambung]

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan meninggalkan jejak :)

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com