Sabtu, 26 November 2011

Ternyata !


“Tik, tok, tik, tok..” aku terus memandangi jarum arlojiku sambil menirukan suaranya. Gerakannya normal, hanya saja lamaku menunggu si Pacar yang tidak normal. Sudah satu setengah jam lebih dan mungkin berat badanku sudah bertambah banyak setelah kuhabiskan sepotong burger jumbo dan segelas milkshake yang kutenteng dari rumah karena aku belum sempat sarapan. Belum lagi jajanan-jajanan pinggir jalan yang berminyak dan begitu menggoda. Awas saja kalau dia mengomel karena aku terlihat makin berlemak. Ini juga salah dia !
Rencananya, si Pacar yang baru saja menyelesaikan urusannya di Jogjakarta tiba hari ini di Jakarta. Karena orang rumahnya sedang pergi dengan kesibukan masing-masing, akulah yang diminta menjemputnya di stasiun. Sebenarnya, aku tidak pernah keberatan selama jadwal kereta apinya on time. Nah ini ? Sama sekali ngadat. Dan sialnya stasiun makin panas dan makin sesak hawanya oleh para antrian pembeli tiket, penjaja makanan, orang-orang yang sedang menunggu keberangkatan, dan orang-orang yang sedang menunggu kedatangan orang lain seperti aku.
Handphone si Pacar yang tidak aktif menjadi faktor menyebalkan kedua. Untuk sekedar menanyakan keberadaannya saja susah payah. Jadilah aku di sini makin seperti orang linglung, benar-benar bingung harus berbuat apa. Tidak ada yang asyik lagi kalau sudah begini. BBM, twitter, bahkan facebook terasa makin basi. Tidak ada kegiatan lain selain bernafas, mengedarkan pandangan ke penjuru stasiun, merubah posisi duduk, bahkan hamper ketiduran. Ah, membosankan ! Rencananya, kalau semakin lama menunggu dan rasa sayangku kepada si Pacar terasa makin menyusut seiring lamanya keterlambatan keretanya, mungkin sebaiknya aku pulang.
 Di ujung bangku tempatku menunggu, tiba-tiba seorang lelaki datang dan menempatkan badannya di sana. Kira-kira umurnya tiga sampai lima tahun lebih tua dariku. Berkaus oblong, sepatu kets, rambut agak gondrong dan tidak rapi tapi begitu cocok dengan wajahnya yang—hmmm—ganteng ! Dia menyangking jaket hitam di tangan kanannya. Selebihnya, dia tidak membawa apa-apa lagi.
Jujur, aku mencuri-curi pandang ke arahnya. Jarak kami tidak begitu jauh, hanya sejauh dua jengkal tangan. Sedikit lirik ke kiri sudah berhasil kuambil pemandangan lelaki ganteng itu. Lumayan, penyegar mata di kala bete melanda ! Aku segera merapikan posisi dudukku dan… astaga, rambutku ! Rambutku terasa acak-acakan dan jauh dari kata rapi. Buru-buru kusisir juntaian sepanjangn bahu itu dengan jari-jariku. Ini di stasiun, dak aku tidak mau terlihat seperti orrang gila di samping si Ganteng itu.
Tak lama setelah dia duduk, lelaki itu mengeluarkan sepuntung rokok dari saku jaketnya, lengkap dengan pemantiknya. Setelah menyulut rokoknya, kemudian dia telihat mencari posisi duduk yang enak. Ah, keren sekali orang ini, pikirku. Aku selalu suka lelaki perokok. Buruk memang, tapi entahlah.
“Lagi nunggu juga, Mbak ?” suara lelaki itu keluar, membuyarkan keterlenaanku olehnya. Agak kaget, mataku langsung kufokuskan ke depan. Aku tidak ingin dia tahu kalau dari tadi aku meliriknya. Tapi begitu sadar bahwa tidak ada ‘Mbak’ lain yang duduk di dekatnya selain aku, aku langsung deg-degan bukan main.
Lalu kutatap langsung ke arahnya. Benar ! Dia melihatku !
“Eh, ngg, saya Mas ? Iya ini lagi nunggu orang dari Jogja. Harusnya sih dari tadi udah sampe. Kalo Mas ?” jawabku agak gugup.
“Sama” senyumnya tersungging. Manis sekali. “Nunggu siapa, Mbak ?”
“Nunggu… pacar, Mas” jawabku malu-malu. “Mas sendiri nunggu siapa ?” tanyaku balik, berusaha menyambung percakapan. Sepertinya dia orang yang supel. Tidak terlalu sulitlah membuatnya bicara banyak.
“Pacar ? Wah, sama lagi dong” katanya. Hmm, ternyata sudah ada yang punya. Tapi tak masalah. Senyumnya makin melebar kemudian, terlihat antusias dengan pembicaraan kami ini. “Dari Surabaya dia. Harusnya sih enakan naik pesawat, tapi dia mabuk udara. Jadinya, ya terpaksa naik kereta”
“Wah, padahal kan emang lebih aman naik pesawat ya, Mas. Kalo di kereta, apalagi perjalanan jauh, sering bikin khawatir. Soalnya kan ya tau sendirilah, padat. Siapa tau segerbong sama preman atau penjahat”
“Hahaha, iya juga sih kalo dipikir-pikir. Tapi pacar saya itu pemberani kok, Mbak. Paling juga dia yang jadi preman di perjalanan” jawabnya. Kemudian dia agak menyerongkan posisi duduknya ke arahku. Kita hamper sehadapan sekarang. Dan sumpah demi apapun, dengan jarak dan kedekatan seperti ini, dia terlihat makin keren. “Eh, Mbak nggak apa-apa, kan kalo saya ngerokok ?”
“Eh, nggak apa-apa, Mas. Santai aja, kali. Udah biasa, kok”
“Eh, by the way, nama saya Guna. Gunadharma. Panggil Dharma juga nggak apa-apa” lanjutnya, sambil menyodorkan tangan kanannya untuk berkenalan.
“Ooh, saya pikir Guna itu dari Angguna. Saya Karin, Mas” candaku sambil membalas jabatan tangannya.
Percakapan makin asyik waktu itu. Deg-degan yang aku rasakan pertama kali langsung hilang begitu saja. Walaupun baru pertama kali bertemu dan mengobrol seperti ini, kita sudah seperti teman lama yang sama-sama bisa mengendalikan kecanggungan. Dari saya-kamu menjadi gue-elo. Sesaat, aku nyaris lupa tujuan awalku ke sini untuk menjemput pacar. Keretanya belum juga datang dan handphone-nya masih juga belum aktif.
“Udah, Rin. Ntar yang ditunggu juga dateng” ujar Guna menenangkan, sesaat setelah melihatku berdecak tiap kali berusaha kuhubungi si Pacar.
“Iya sih, Gun. Tapi gue cuma mau mastiin keretanya nggak kenapa-napa di jalan. Gue udah tanya sih sama petugasnya dari tadi. Katanya sih nggak kenapa-napa, tapi telatnya udah kebangetan lho” jawabku lesu.
“Yah, lo yakin keretanya yang telat ? Jangan-jangan pacar lo nggak jadi pulang gara-gara ngeliat cewek cantik di stasiun. Hahaha” godanya.
“Aaaah jangan dong, gue udah nunggu selama ini ! Nggak lucu banget lo, Gun” aku memanyunkan bibirku, sedikit takut juga.
“Emangnya lo nyesel nungguin dia, Rin ? Bayangin deh, kalo kereta pacar lo tepat waktu, terus dari tadi lo udah balik. Kita nggak bisa ketemu dan ngobrol asyik kayak gini kan ?”
Serrrr, rasanya darah mengalir lebih cepat. Baru saja kupastikan kalau deg-deganku sudah hilang, mendadak dibuatnya muncul lagi. Aku tertunduk, pipiku merah jambu mungkin.
“Hahaa, emangnya lo nggak nyesel ketemu cewek kayak gue ?” tanyaku balik, berusaha mengalihkan rasa maluku.
“Nggak sih. Jakarta, kan cuma segini-segini aja. Siapa tau lain kali bisa ketemu lagi, kan nggak perlu repot-repot kenalan. Lagian untung ada lo, kalo gue nunggu sendirian di sini kayaknya gue bakalan mati ketiduran deh”
Jujur, aku senang bukan main. Seorang lelaki seperti Guna, yang keren, yang perokok, yang baru kutahu ternyata kampus kita jaraknya juga dekat, yang… aaahh semuanya, dia senang mengenalku. Tuhan, rasanya bibir ini senyum terus. Oke, diam-diam aku berharap supaya kalau kita bertemu lagi lain waktu, kita sudah sama-sama putus dari pacar masing-masing. Terlalu jahat ya ? Tapi si Pacar memang laki-laki yang terlalu datar dan tidak penuh tawa seperti Guna. Dari awalpun aku selalu yakin kalau kita tidak akan awet sampai menikah.
 Tak lama kemudian, diumumkan bahwa kereta jurusan Jogjakarta-Jakarta yang ditumpangi si Pacar akan sampai tiga menit lagi. Dan kebetulan, kereta jurusan Surabaya-Jakarta yang ditumpangi perempuan Guna juga akan tiba. Kita sama-sama berdiri, menyambut kekasih masing-masing yang tak lama kemudian kedua kereta tersebut tiba hampr bebarengan.
“Karin, gue ke sana dulu ya” sahut Guna, menunjuk ke arah seberang, kereta yang dinantinya. “Semoga kapan-kapan bisa ketemu lagi, ya”
Aku tersenyum, mengangguk antusias. Lalu Guna dengan senyum yang tak kalah menyenangkannya, bergegas pergi sambil melambaikan tangannya ke arahku. Ah, Tuhan, semoga ucapannya barusan bisa jadi doa yang mujarab.
Tak perlu menunggu waktu lama, si Pacar—dengan penampilannya yang serbakusut dan muka bantalnya—menghampiriku. “Stres aku, Yang, telat banget berangkatnya tadi. Mana HP mati, nggak bisa ngehubungin kamu” ujarnya, sambil memberikan pelukan akhirnya-bertemu-lagi.
“Eh, tapi kamu beneran telat, kan ? Nggak kecantol cewek lain ?” tanyaku curiga.
Diusapnya kepalaku sambil tertawa. “Hahaa ya nggaklah, paling juga kecantol orang jualan lumpia” Fiuuh, aku sedikit tenang. Setidaknya, menunggu selama itu menjadi hal yang tidak sia-sia walaupun sudah sangat mengecewakan.
Sesaat, aku celingukan. Kucari Guna. Kuedarkan seluruh pandanganku ke gerbong kereta di seberang. Ramai, penuh sesak dengan lautan manusia. Susah sekali mencari Guna yang mana. Aku mendengus, mungkin memang belum jodoh sama Guna. Pasti dia langsung keasyikan sama pacarnya, pikirku.
Baru saja kukamit lengan si Pacar yang membawa tas-tas di kanan-kirinya untuk segera pergi dari stasiun, tiba-tiba seseorang menepuk pundakku. “Karin !”
Aku menoleh, dan ternyata… Guna ! Tuhan, senang sekali !
“Kenalin, ini pacar gue, Rin. Yang dari tadi gue ceritain. Namanya Siska”
Seorang wanita berdiri di samping Guna, merangkul lengan Guna erat, seolah tak mau lepas. Usianya… mmm, sekitar tiga puluhan. Lemaknya di sana-sini, dandanannya menor. Sejurus kemudian kupastikan bahwa aku tidak sedang salah lihat.
Guna, berpacaran dengan tante-tante.
Pandanganku kabur, aku mau pulang.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan meninggalkan jejak :)

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com