10 November kemarin, bertepatan dengan Hari Pahlawan ketika saya sedang berada di Surabaya, kuliah. Tidak banyak hal menarik waktu itu, Surabaya biasa saja, sebiasa hari-hari biasa. Namun, ada satu sudut tempat yang begitu menarik perhatian saya.
Berlokasi di Jalan Yos Sudarso, di samping gedung DPRD, Komunitas Pekik Merdeka Surabaya mengadakan acara Pekik Trotoar yang digagas oleh Pak Madi, lelaki tua yang sehari-hari bekerja sebagai tukang becak. Acara bertajuk Tukang Becak Baca Puisi dalam 3 Bahasa ini diselenggarakan di trotoar, di mana para pengguna jalan dapat menyaksikan langsung pertujukan seni tersebut.
Pak Madi, adalah seorang tukang becak yang hobi menulis puisi. Membawa sebuah buku besar berisi karya kumpulan puisinya, beliau membacakan puisi-puisi bertema kemerdekaan dan pemerintahan selama 36 jam sejak tanggal 9 November. Puisi-puisi tersebut antara lain berisi tentang protes-protes terhadap kekurangan pemerintah yang berdampak buruk bagi bangsanya. “Saya bangga terhadap Indonesia, tapi tidak bangga dengan pemerintahan Indonesia !” demikian teriak salah seorang dari Komunitas Pekik Merdeka.
Malam harinya, saya mampir ke sana bersama seorang teman saya. Waktu itu, Pak Madi sedang beristirahat karena beliau sedang sakit. Digantikan oleh teman-temannya dari Komunitas Pekik Merdeka, kami disuguhi puisi-puisi yang disampaikan dengan penuh semangat perjuangan Arek-arek Suroboyo. Jujur, saya sendiri berdesir menyaksikan mereka yang begitu lancar dan tegas menyampaikan bait-bait yang penuh makna.
Selain pembacaan puisi, sekelompok pemuda Surabaya ikut meramaikan suasana dengan permainan gamelan mereka. Setelah memainkan beberapa lagu, di antaranya Syukur, Ilir-Ilir, Padamu Negeri, dan sebagainya, serta pembacaan beberapa puisi lagi oleh Pak Madi setelah beliau pulih dari sakitnya, acara pun berakhir sekitar pukul 22.00 malam dengan riuh tepuk tangan para penonton yang tak berhenti ikut meneriakkan “Merdeka!” dengan antusias mereka masing-masing.
Yang mengejutkan adalah ketika saya, yang tidak terlalu paham dan mengerti tentang beberapa puisi mereka, dan beberapa penonton lainnya tiba-tiba dihampiri oleh beberapa panitia dan disulap menjadi seorang badut. Wajah kami terpaksa dibalut dengan cat air warna putih dan merah. Tak hanya itu, para badut ditarik ke depan untuk ikut berjoget ketika pertunjukan gamelan dimulai. Ah, ingin sekali joget maksimal, tapi sungkan. Tak lama, saya dan teman saya duduk kembali.
Keramahan para panitia benar-benar mencerminkan kerendahan hati, sesuai tema pengadaan acara yang mereka lakukan di trotoar dengan tujuan lebih merakyat dan memanfaatkan suasana alam yang telah disediakan Tuhan untuk manusia-Nya.
Tak hanya itu, ada sekelompok komunitas vespa yang ikut bergabung menjadi penonton, memeriahkan suasana.
Saya bangga dengan kebersamaan orang-orang yang tak saling kenal itu, tapi bersama-sama mendukung perjuangan pahlawan-pahlawan seni yang tak kenal ragu meneriakkan protes-protes mereka terhadap pemerintahan demi keberlayakan bangsa.
Semoga, perjuangan mereka diterima Tuhan di sisi pemerintahan. Amin.
*Maaf, foto menyusul.
1 komentar:
GOOD
Posting Komentar
Silakan meninggalkan jejak :)