Jumat, 04 November 2011

Konde Ibu (bagian 2)


Bapak dan Ibu itu ibarat pewayangan Rama dan Sinta yang dimainkan oleh seorang dalang mabuk, menurutku. Seharusnya, mereka adalah sepasang pria gagah dan wanita gemulai yang saling merajut asmara. Tapi di realita panggung, mereka tak ubahnya menjadi dua orang dewasa yang tak pernah mau berdamai dengan argumen satu sama lain. Ya, dalangnya mabuk. Rama-Sinta versi Bapak-Ibuku pasti sudah dilempari botol air mineral kosong kalau benar-benar dipentaskan. Seperti aku, yang selalu ingin melempari mereka teriakan untuk berhenti tiap kali tak ada satupun dari mereka berdua yang bisa menahan untuk berhenti adu mulut.
Yang lucu adalah, aku, anak semata wayang mereka, bahkan menjadi sasaran beda pendapat yang terjadi sehari-hari dan berlangsung selama dua belas tahun, selama usiaku. Aku terlahir alami dari rahim Ibu sebagai seorang perempuan. Normal, tanpa cacat. Tapi Bapak bersikeras menginginkan kelahiran seorang bayi laki-laki. Aku seperti besi panas yang ditempa setiap hari agar mental dan kemampuanku terbentuk seperti seorang figur lelaki seperti keinginan Bapak.
Tidak, Bapak tak pernah sekalipun main tangan denganku. Hanya saja, aku dilatih ekstra keras agar bisa menggerakkan akal, pikiran, dan otot-ototku untuk berada pada situasi di mana seharusnya lelaki berada. Membantu Bapak di bengkel kecilnya setelah aku pulang sekolah adalah hal yang biasa. Bahkan tak jarang aku diajari Bapak ilmu bela diri dengan keterbatasan pengetahuan tentang bela diri yang dimilikinya supaya aku tidak menye-menye seperti anak perempuan lain ketika diperlakukan tak baik oleh teman laki-laki.
Aku pernah, sekali di kelas 5, membuat hidung teman laki-lakiku mimisan dengan sekali pukulan keras sampai menangis kesakitan karena dia menoyor kepalaku yang waktu itu baru digunduli Bapak. Dan Bapak begitu bangga aku bisa melakukannya. Justru yang tak pernah kulakukan adalah menjamah dapur, membantu Mbah Uti yang sibuk mengolah masakan. Bahkan untuk hal sesepele menyapu dan menata barang-barang yang terlihat berantakan di rumah pun aku tak pernah. Ah, memakai pakaian perempuan saja tidak, kecuali di sekolah yang mengharuskan anak perempuan mengenakan rok.
“Terus kenapa kalau Bapak nggunduli rambutku, Ibu ndak berusaha melarang Bapak ?” tanyaku kemudian, kepada Ibu yang baru saja menyelesaikan riasannya dan sudah tampak begitu rapi dengan kebaya merah tua serta konde yang baru dibelinya.
“Ibu sudah capek, Bapakmu itu mungkin nunggu Ibu mati dulu baru mau dengerin semua yang pernah Ibu bilang ke dia” jawab Ibu ketus, nada bicaranya meninggi. “Kamu jaga rumah, Ibu berangkat dulu. Jangan lupa pintu, jendela, dikunci semua. Jangan tidur dulu sebelum Bapakmu pulang” lanjutnya. Berkaca lagi, menarikku keluar dan mengunci kamarnya yang sakral, lalu melenggang pergi.

***

[ bersambung]

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan meninggalkan jejak :)

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com