Senin, 23 Juli 2012

#2 Buku Bicara

Manusia serupa buku yang berjajar dalam kolong-kolong raknya. Dekat, rapat, akrab. Tapi, tetap saja masih bertopeng oleh sampulnya masing-masing. Lapuk mampat dalam kisahnya sendiri.
Pun aku, satu di antara lusinan buku yang tegap berdiri dari hari ke hari dalam jajaran rak berlabel 'Biografi'. Tipis, kecil, jarang terbaca. Siapa yang akan tertarik?
Aku tak percaya dengan ungkapan 'jangan menilai buku dari sampulnya'. Lalu bagaimana dengan aku yang sampulnya saja penuh dengan carut marut noda dan bekas lipatan? Pula warnaku hijau pucat. Kalau aku punya tangan seperti manusia, akan kutinju habis orang-orang yang masih bisa berkata demikian. Jelas-jelas mereka hanya mengambil buku dari rak dengan sampul yang menarik.
Dia, misalnya. Buku ensiklopedia tentang bunga. Dari sampulnya yang tebal dan penuh dengan warna-warni menarik saja membuat orang tak perlu pikir dua kali, apalagi tiga kali untuk melahap isinya habis. Halaman deki halamannya berwarna, tak sepertiku yang tiap lembarnya menguning.
Ah, sudahlah. Dia memang primadona di sini. Lagipula.. Lagipula seorang pria mengunjungiku kemarin siang. Pria berkacamata dengan dua lesung pipit. Dia tak pernah membawaku pulang. Aku dibaca habis di sini. Sepuluh halaman, lalu esoknya dia kembali membaca enam halaman, dan seterusnya. Tak masalah dia melipat ujung halamanku, yang penting adalah dia kambali lagi untuk membuka lipatannya dan mempelajariku hingga habis.
Kalau tidak salah, hari ini dia akan kemari. Tinggal tujuh halaman lagi. Aku sudah bersiap sejak pagi. Haha, konyol bukan? Persiapan sebanyak apapun, aku tetap selusuh biasanya. Tak apalah, asal dia masih mau menyisihkan untukku. Bayangkan rasanya, dari puluhan rak buku dengan masing-masingnya berisi ratusan buku, aku terpilih begitu saja. Seperti memenangkan kontes tanpa susah audisi.
Mungkin, dia adalah satu-satunya orang yang layak berkata 'jangan menilai buku dari sampulnya'. Ya, siapa lagi?
Aku gelisah menunggu.
Menunggu.
Menunggu.
* * *
Ternyata sama saja.
Tiga hari yang lalu si pria berlesung pipit itu akhirnya datang dan mengambilku dari rak, lantas menyelesaikan halaman demi halaman yang tersisa hingga habis.
Ditutupnya sampul belakangku, hendak dikembalikan ke jajaran buku-buku lain di rak seperti semula. Lirih dia berkata "Ah ternyata biasa saja isinya".
Lalu di melangkah ke rak buku Primadona.

2 komentar:

Nyi Penengah mengatakan...

hai salam kenal
kasihan si buku lama

Putripus mengatakan...

iya, salam kenal jga :)

Posting Komentar

Silakan meninggalkan jejak :)

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com