Purworejo. Ribuan kilometer dari hari-hari normal. Mengasingkan diri sendiri, duduk berhadapan dengan semangkuk es coan di sebuah kedai penjual gado-gado favorit di tikungan perempatan, menciptakan sebuah pilu sederhana di akhir pekan. Ini namanya hidup. Masalah datang silih berganti seperti layaknya kendaraan berlalu lalang di jalanan. Sungguh tanpa henti. Pelarian seperti ini bukan hal yang harus dilakukan memang, tapi perlu. Aku melihat segala sesuatu mulai meremang ketika Gendhis datang pagi itu, mengabarkan kepindahannya ke Kalimantan. Dia diangkat menjadi pegawai tetap di sana, di sebuah biro perjalanan ternama. Maka tanpa perlu diaba, aku tahu akan berakhir ke mana hubungan kami pagi itu. Rokok tersulut, terhisap dan terproduksi asap-asap yang gemulai menari di udara dari bibirnya yang terpoles lipstick oranye. Kacamata hitamnya masih menggantung di sana, tanda tak ada waktu lagi untuk basa-basi, sebab keberangkatannya tinggal menunggu beberapa jam. Aku masih kusut, baru beranjak dari tidurku. Aku tak pernah memiliki kegiatan lain kecuali menyelesaikan kuliah yang tak kunjung selesai tepat waktunya. Sisanya, hidupku kuhabiskan untuk tercebur dalam kisah percintaan bersama Gendhis. Kupandangi perempuan itu, betapa dia telah berkarir mapan, yang entah mengapa, aku merasa begitu rendah dan tak layak untuknya. "Ini cuma sebuah perjalanan, Sayang. Jangan dianggap terlalu serius" katanya tegas. Aku masih kusut dan kuyu. Sementara Gendhis tak punya banyak waktu, justru aku masih tertekur pada pagi yang tabu ini. Masih berpikir keras dengan apa yang jangan dianggap serius? Empat tahun yang terjalin, atau kepergiannya? Kepulan asap membentuk barisan rapi, bulat-bulat. Dia telah berkemaja rapi, bersiap menjemput masa depannya yang terpatri pasti dalam rencana-renananya. Sementara aku masih berkaus kutang, jauh dari masa depan. Bukan Gendhis yang kelak harus menghidupi aku. Maka bukan aku pula orang yang layak mendampinginya. Pada pagi yang dingin itu, tanpa pemberat kurelakan Gendhis menjalani hidupnya tanpa perlu menjadikan dirinya setia menungguku yang berjalan tertatih di belakangnya. Lamat-lamat kuhabiskan semangkuk es coan suapa demi suapan. Mataku tertambat pada polisi-polisi lalu lintas di seberang sana. Polisi Purworejo tampan-tampan, katamu. Bersama dengan itu, masih kau genggam jariku erat tanpa celah. Semoga Purworejo menjadi persinggahanmu kembali. Dan pada suatu hari yang entah kapan, kelak kita akan bertemu di sini. Melempar senyum kemudian tawa. Mengulang kembali gurauan-gurauan yang telah usang sambil meneguk es coan. |
Kamis, 26 Juli 2012
#4 Gendhis dan Sebuah Akhir
Label:
#30Hari90Cerita
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan meninggalkan jejak :)