Aku
ingin jatuh cinta pada titik-titik air yang terkatung-katung di ujung
rerumputan. Hendak jatuh, namun masih mencengkeram erat, memantulkan cahaya
keperakan pada halaman hijau. Sebuah basah yang menyambut pagi ketika matahari
masih pelit membagikan cahayanya dan ayam-ayam masih bermalas-malasan di balik
selimut jerami.
Juga
pada gagah pohon yang tiap hari secara tak kasat mata berjinjit-jinjit kecil
menambah tinggi agar kelak pucuknya berhasil menyentuh biru muda langit. Sebab
menyentuh putihnya awan yang berarak di lintas angkasa adalah keingingan
terbesar mereka dan Tuhan menakdirkan mereka memiliki hidup ribuan tahun untuk
terus tumbuh dan mencapai inginnya.
Apalagi
pada dingin angin yang meniup-niup helai rambutku ketika kereta api melintas
tanpa ampun beberapa detik dengan gemuruh suaranya yang begitu dahsyat. Saat di
mana aku begitu berbahagia dengan sebuah berantakan hingga aku nyaris tak
peduli bahwa pernah ada penemuan alat untuk merapikan rambut bernama sisir.
Pada
suatu masa yang jauh dari saat ini, aku pernah jatuh cinta pada pagi seperti
itu. Saat kau datang menjemputku yang telah terduduk rapi di kursi rotan depan
rumah, menanti. Seragam sekolah yang lusuh dan kebesaran adalah saksi romansa
yang tercipta di antara kita, puluhan tahun silam sebelum abad 20 menyerang
zaman dengan kecanggihan teknologi.
Rumah
kita jauh. Dari satu dusun ke dusun lain. Namun keberadaan satu sekolah kejuruan
kecil yang pada eranya memiliki fasilitas yang begitu mencukupi, menjadikan
kita berdua terasa dekat sebab harus menempuh perjalanan berdua untuk satu
tempat tujuan yang sama.
Rambutku
keriting berombak. Pula rambutmu. Model rambut yang sedang begitu mendunia kala
itu, yang siapapun yang terlahir dengan model rambut seperti itu akan merasa
percaya diri luar biasa karena semua mata tertuju padanya. Rambut-rambut tipis juga
muncul di atas bibirmu, rumpun calon kumis yang malu-malu berjuang untuk
tumbuh. Menjadikan senyummu tampak berbeda dari hari ke hari.
Kita
meniti perjalanan ke sekolah kurang lebih satu jam. Perjalanan yang tak
singkat, meski telah kita pilih alternatif jalan terpendek melewati besi-besi
tua rel kereta api yang terbentang dari titik kita berdiri hingga ke sebuah
titik lenyap yang hinggap pada garis horizon yang memotong tanah dan langit. Pagi
belum terlalu siang. Stasiun belum terlalu ramai sesak. Udara masih tak berwarna,
masih sejernih harum pagi yang belum mengantungi asap-asap kereta api maupun
asap pembakaran sampah yang terbawa ke mana-mana.
Aku
anak Pak Lurah. Kau anak Pak Carik. Kita berdua sama-sama melirik saat
pertemuan besar kala itu. Orang tua kita ternyata masih saudara jauh. Pada
sebuah pagelaran wayang untuk merayakan terpilihnya bapakku sebagai Lurah, kau
datang. Berjalan malu-malu di balik punggung ayah-ibumu tak membuatku lantas
tertarik padamu begitu saja.
Malam
begitu riuh. Mata-mata para tetangga tak berkedip sekalipun, melawan kantuk
yang bersembunyi di balik kantung-kantung mata, demi menyaksikan aksi panggung
dalang ternama. Keluarga mendapat tempat duduk terhormat di atas kursi-kursi plastik
sementara yang lain cukup menikmati duduk beralaskan tikar. Manusia-manusia
belum mengebadikan kebiasaan berburuk sangka kala itu, hingga perbedaan tempat
duduk bukan dianggap suatu kesenjangan, melainkan sebuah penghormatan.
Kita
duduk bersebelahan. Belum ada sepatah katapun selain senyum yang terlempar.
Kita sama-sama hanyut dalam cerita asmara Rama dan Sinta, tertawa oleh keahlian
dalang dalam mencipta dialog dan menciptakan gerak-gerak gemulai lelakon
kulitnya.
Lalu,
di sanalah, ketika malam semakin larut dan kisah semakin membuat siapapun
enggan meninggalkan hingga diciptakanlah suasana redup temaram nyala obor
bambu, kau memberanikan diri untuk memperkenalkan diri.
Lucu
sekali, kita terhitung saudara jauh, tapi belum pernah sekalipun bertemu.
Terlalu jauh, mungkin. Dari percakapan sederhana malam itu, aku tahu kita
berada dalam satu atap sekolah yang sama. Terang saja aku tak mengenalimu.
Kelas adalah tempat bermukimku, sebab aku jarang keluar kelas apalagi
mengunjungi kantin karena uang saku hanya bisa kugunakan untuk membeli es teh
dan sepotong gorengan bekal di jalan pulang.
Setelah
malam itu, kau rajin mengirimiku surat, dua minggu sekali. Surat-surat yang tak
pernah kubalas karena aku begitu malu melakukan hal manis seperti itu. Dua
bulan berselang, mungkin kau geram. Geram yang tak lantas menghentikan
langkahmu untuk berusaha mendekat. Bermodal sekantung ubi ungu hasil panen, kau
berkunjung ke rumahku, berbasa-basi dengan bapak-ibuku sementara aku mengintip
dari tirai kamar. Entahlah, ketika nada bicaramu merujuk pada sebuah candaan
untuk berpamit pada orang tuaku mengajakku berangkat sekolah bersama mulai
besok dan seterusnya, aku tersenyum malu sendirian. Aku bahkan tidak bisa
membedakan apakah itu masih bagian dari basa-basimu, atau sungguh ajakan yang
keluar dari hati seorang lelaki.
Kaki
kita masih terus melangkah. Sekolah masih jauh. Tapi tangan kita masih erat
bergandeng. Rerumputan yang masih basah, pepohonan yang rantingnya
menganggung-angguk anggun menyapa pagi. Juga siulanmu yang syahdu memainkan
nada-nada lagu lama tentang cinta-cinta yang bersemi. Sejak itu kau terus
mengampiriku tiap pagi, lalu pulang bersama sorenya, saat matahari hendak
pulang pada cakrawala. Sejak berjalan kaki hingga akhirnya kau mampu membeli
sebuah sepeda bekas yang masih bagus untuk ditumpangi. Berboncengan seperti itu
di jalanan yang mmbelah persawahan, membuat orang-orang berdecak iri, pastinya.
Aku
ingin jatuh cinta sekali lagi. Sebab kita berdua telah semakin jauh
meninggalkan resah ketika menunggu Pak Pos mengantarkan surat. Meninggalkan
bahagia yang memuncak ketika membaca paragraf demi paragraf yang tersimpan rapi
dalam laci kayu jati. Meninggalkan pagi yang ditempuh di atas rel kereta api.
Lihatlah
kita berdua. Telah jauh dari anak-anak yang telah berkeluarga. Hidup di antara
lahan yang terhimpit gedung-gedung mewah. Sebuah kesederhanaan yang menyisakan
seorang perempuan beruban yang tengah bersandar pada bahu pria kurus yang penuh
keriput di tiap lekukan kulitnya. Menonton TV hingga ketiduran. Bisa jadi,
hingga tiba-tiba kita mati bersama.
Kau
semakin sedikit menguasai kata sebab gigimu tak lagi utuh dan suaramu
menghasilkan getar yang tak kunjung usai. Sedangkan telingaku terlalu pekak
hingga tak mampu lagi mendengar dengan jelas apa yang ingin kau ucap. Kita
adalah sepasang tua dengan rabun mata dan sedikit harap untuk kesembuhan, sebab
kita sama-sama tahu bahwa memang telah saatnya kita berdiri pada proses ini.
Biarlah,
kau bilang. Jika suatu hari nanti kita berdua harus berakhir pada sebuah hening
seperti ini, asalkan berhasil melewati masa berdua, kita telah sama-sama tahu
seberapa bermaknanya hidup yang kita miliki sebelumnya.
So, would it be nice to sit back in silence?
Despite all the wisdom and the fantasies
Having you close to my heart as I say a little grace
I'm thankful for this moment cause
I know that you
Grow a day older and see how this sentimental fool can be
Despite all the wisdom and the fantasies
Having you close to my heart as I say a little grace
I'm thankful for this moment cause
I know that you
Grow a day older and see how this sentimental fool can be
When she tries to write a birthday song
When she thinks so hard to make your day
When she's getting lost in all her thoughts
When she thinks so hard to make your day
When she's getting lost in all her thoughts
When she
waits a whole day to say...
"I'm thankful for this moment ‘cause I know that I
Grow a day older and see how this sentimental fool can be
When he ache his arms to hold me tight
When he picks up lines to make me laugh
When he's getting lost in all his calls
Grow a day older and see how this sentimental fool can be
When he ache his arms to hold me tight
When he picks up lines to make me laugh
When he's getting lost in all his calls
When we can't wait to say : ‘I love you'."
If everything has been written down, so why worry, we say
If everything has been written down, so why worry, we say
It's you and me with a little left of sanity
- Grow A Day Older, Dewi Lestari -