Selasa, 11 September 2012

Siklus


Kita tak akan bisa lama bertemu. Pada Minggu di penghujung Senin, aku akan mengantarmu pulang, sebab besok pagi-pagi sekali sebuah mobil akan menjemputmu pada rutinitas bersekolah.
Sayang, kunikmati dua hari ini dengan penuh tawa. Bagaimana caramu berjalan dan berdiskusi dengan kata-kata abstrak begitu kukagumi lebih dari puluhan model cantik bertubuk seksi pada billboard-billboard yang berdiri kokoh di sepanjang jalan yang kita berdua lewati.
“Kamu harus banyak makan” katamu waktu itu, sambil menggoyang-goyangkan kakimu yang menggantung pada kursi ketinggian yang kau duduki. Entah dari mana kau pelajari sebaris kalimat itu. Telak menghunusku, bahwa aku masih memiliki kamu. Bagaimana aku bisa menemanimu dalam waktu-waktu yang lama jika aku makin ringkih dan tak berusaha memerhatikan kesehatanku?
Sementara, kau masih tenang memakan kebab di restauran cepat saji yang kita hampiri Sabtu kemarin. Sausnya belepotan di kedua ujung bibirmu. Kubiarkan begitu, karena kau terlalu menarik dengan segala kepolosan yang kau punya, dibanding untuk diajarkan pada aturan-aturan makan yang tak akan selesai dalam satu malam.
“Aku mau ulang tahun” lanjutmu. Pemicaraanmu selalu melompat-lompat seperti kelinci, dari satu tempat, berpindah pada tempat lain. Tapi, itulah. Bersamamu, aku tak pernah menggalakkan otakku untuk berpikir terlalu dalam.
“Ica mau apa?” tanyaku bersungguh-sungguh sambil membelai rambutnya yang nyaris cokelat terkena sinar matahari.
“Mau… omelet!” telunjukmu mengarah ke atas, seperti mendapatkan ide. Spontan, tapi kembali menghunusku. Sudah lama sekali tak kubuatkan kau omelet mi dengan wortel dan kacang polong, makanan favoritmu sepanjang masa. Lagi-lagi aku merasa berdosa.
“Oke, pinkie promise” aku menyodorkan kelingkingku. Kelingkingmu yang begitu mungil segera menyambutnya.
Maka, tak ada yang lebih kubenci dari Minggu malam di penghujung Senin pagi. Ketika erat pelukanku tak lagi bisa menghentikan keadaan yang bergulir. Ketika segala gelak tawa selama dua hari setiap minggu tak mampu lagi menjadi obat penawar racun-racun rindu. Ketika aku harus mengantarmu sampai ke depan pintu rumahmu dan berucap “Tidur yang nyenyak, Sayang, rajin sekolah biar minggu depan bisa bertemu lagi”
Kupeluk kau sekali lagi. Lebih erat dari sebelumnya, seolah tak akan lagi tersisa hari untuk kita bertemu. Kuhirup dalam-dalam aroma tubuhmu yang begitu lembut. Andai bisa, ingin kusimpan dalam kantung plastic agar bisa kuhirup sewaktu-waktu aku membutuhkan kau. Kemudian perempuan itu membukakan pintu, ibumu.
“Terlalu malam, Mas, pulang jam segini. Harusnya dari jam sembilan dia sudah tidur” katamu, lantas aku menengok jarum jam yang menunjuk tegas angka sebelas.
“Aku masih kangen. Biarlah, dia juga belum ngantuk” kilahku.
“Jangan dibiasakan” ibumu dengan cepat merengkuhmu, memindahkanmu dari pelukanku, hingga mendarat ke pelukannya. Demi Tuhan, meski kualami adegan ini layaknya sebuah siklus, tetap saja ini begitu menyakitkan.
“Minggu depan, boleh kuajak dia dari hari Jumat? Ayolah, Sabtu ke Minggu itu terlalu singkat. Aku kangen sekali” pintaku.
“Lihat besok, Mas. Sudah, sana pulang. Besok Ica sekolah”
Aku menatapmu untuk yang terakhir. Kau masih terlalu lugu untuk memahami yang terjadi. Sepengetahuanmu, aku hanya sedang pergi untuk bekerja. Dan kau pahami itu sebagai keharusanku, maka tak pernah kau menuntutku untuk selalu ada. Itu saja. Pada detik-detik terakhir seperti itulah, bibir mungilmu berkata “I love you, Pa. Nice to meet you”
“I love you too, my baby” ujarku lirih. Senyumku lusuh. Aku berbalik gontai meninggalkan mereka berdua. Dia seperti angin. Seberapa lamapun kupeluk, dia tetap bukan milikku utuh. Kebradaannya tak tergenggam.
Pada Minggu malam di penghujung Senin, kuseka calon air mata yang hendak menetes. Tenang, masih ada minggu-minggu berikutnya, kataku dalam hati.



“Tak terasa gelap pun jatuh
Di ujung malam, menuju pagi yang dingin
Hanya ada sedikit bintang malam ini
Mungkin karena kau sedang cantik-cantiknya

Lalu mataku merasa malu
Semakin dalam ia malu kali ini
Kadang juga ia takut
Tatkala harus berpapasan ditengah pelariannya
Di malam hari
Menuju pagi
Sedikit cemas
Banyak rindunya”

Payung Teduh, Untuk Perempuan yang Sedang dalam Pelukan

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Bikin buku dong. ntar gue beli deh :)

Putripus mengatakan...

aamiin. doain aja yaa :)

Posting Komentar

Silakan meninggalkan jejak :)

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com