Rabu, 17 Agustus 2011

Bendera Negara


Saya barusan nonton program Nilai Kehidupan di Trans TV. Ibarat buku kumpulan cerpen, program acara Nilai Kehidupan menayangkan beberapa film pendek. Nah di edisi hari ini, apalagi temanya kalau bukan Hari Kemerdekaan yang sedang hangat-hangatnya menjadi topic utama di Indonesia mengingat tepat tanggal 17 Agustus hari ini adalah Hari Kemerdekaan NKRI.
Berhubung saya telat nontonnya, saya cuma sempat melihat tiga film pendek yang ditayangkan. Ada satu film yang paling saya suka dan jujur berhasil membuat saya menangis. Judulnya, Bendera Negara. Akan saya coba menuliskan kembali ceritanya. Mohon maaf kalau dialognya tidak sama persis, saya berusaha mengingatnya.

***
source : google


Seorang pemuda yang berprofesi sebagai seorang penjahit, tengah merasakan hari yang menjemukan pada suatu pagi. Bagaimana tidak, dia mendapat banyak pesanan untuk menjahit bendera Merah-Putih. Pemuda tersebut agak dongkol, mengapa dia harus mengerjakan jahitan sesederhana bendera kalau sebenarnya dia bahkan bisa menghasilkan sesuatu yang lebih daripada itu, seperti pakaian misalnya. Dengan perasaan yang begitu malas, pemuda tersebut menghentikan pekerjaannya.
Kemudian seorang teman mendatangi rumahnya. Melihat kawannya sedang tidak bersemangat, dia mengajak pemuda tersebut untuk menyaksikan serangkaian lomba yang diadakan oleh warga setempat di sebuah lapangan.
Bukannya ikut merasakan kemeriahan perayaan Hari Kemerdekaan, pemuda tersebut malah lebih memilih untuk duduk-duduk saja. Mood yang memburuk dari pagi masih terbawa. Menyaksikan keceriaan para tetangga pun dia terlihat begitu enggan.
Jam berlalu, semakin siang lapangan tersebut semakin sepi, hingga akhirnya tak ada lagi warga yang tersisa di lokasi tersebut. Pemuda itu masih duduk menghisap rokoknya. Santai. Hingga beberapa saat kemudian muncul seorang lelaki tua yang berjalan tertatih melewati lapangan.
Lelaki tua tersebut berhenti. Lapangan begitu kotor dengan sisa riuh perlombaan tadi. Masih ada kerupuk yang berserakan, tali temali, dan masih banyak lagi yang mengisyaratkan bahwa lapangan tersebut masih dalam keadaan tidak sedap dipandang. Tak sedikit pula hiasan gantung semacam bendera Merah-Putih terbuat dari plastic yang dirangkai sedemikian rupa pada tali-tali ikut jatuh terkena angin.
Satu hal yang menarik perhatian si pemuda, lelaki tua tersebut berjalan. Dipungutinya satu persatu hiasan bendera Merah-Putih yang terbuat dari plastik tersebut yang jatuh ke tanah. Setelah memastikan tak ada lagi bendera plastic yang berserakan, lelaki tua tersebut membawanya ke suatu tempat.
Si Pemuda Penjahit kemudian mengikuti lelaki tua itu, penasaran dengan apa yang akan dilakukannya terhadap tumpukan bendera plastic yang ada di genggamannya. Setelah berjalan beberapa meter, lelaki tua tersebut sampai pada sebuah gubuk kecil. Rumahnya. Rumah yang sangat sederhana, bahkan terbilang sangat kecil dan kurang layak untuk ditampungi manusia. Namun, seakan ikut bangga dengan peringatan HUT RI, rumah tersebut banyak dihiasi dengan bendera-bendera plastic yang terangkai dan tergantung rapi pada dinding-dindingnya.
Tak lama, seorang wanita tua—istri lelaki tersebut—keluar. Mendapati suaminya memunguti bendera-bendera plastic lagi, wanita tersebut tampak geram. “Lagi-lagi mungut bendera kayak gini. Nggak berguna”, teriaknya sambil berusaha merebut bendera-bendera tersebut dari tangan si lelaki tua, hendak membuangnya.
“Bu, jangan, Bu. Jangan ! Ini bendera Indonesia. Ini bendera Merah-Putih yang Bapak perjuangkan waktu jaman perang dulu. Ini lambang Negara kita, Bu. Jangan dibuang !” sahut si lelaki tua. Sejurus kemudian, pemuda yang masih bersembunyi di balik pohon tersebut mengetahui bahwa beliau adalah seorang veteran.
“Itu kan dulu. Lihat sekarang, mana kemerdekaan Indonesia yang Bapak perjuangkan ?  Bapak nggk dikenal. Rumah kita lebih kecil daripada kandang ayam, bahkan masih di tanahnya orang lain. Sewaktu-waktu kita bisa digusur, Pak !”
Lelaki tua tersebut kemudian menangis. “Jangan menjelek-jelekkan Indonesia. Ini Negara kita, Bu”, ucapnya.
Istrinya tersebut langsung meninggalkan lelaki tua itu begitu saja dengan macam-macam gerutuan.
Sambil memunguti sisa-sisa kemerdekaan yang diperjuangkannya, lelaki tua tersebut—sambil masih menangis—dalam hening bernyanyi, “Indonesia Raya merdeka, merdeka. Tanahku, negeriku yang kucinta. Indonesia Raya merdeka, merdeka, hiduplah Indonesia Raya”. Tangannya terangkat ke atas, menghormati lembaran kain Merah-Putih yang berkibar gagah pada tiang penyangganya.
Si pemuda yang menyaksikan kejadian tersebut kemudian bergegas pulang. Langsung dikerjakannya pesanan-pesanan jahitan bendera Merah-Putih yang tadi pagi diabaikannya. Dengan rasa bangga, satu per satu bendera dijahitnya dengan senyum yang tak berhenti tersungging di ujung bibirnya.

***

Betapa memperjuangkan sesuatu itu sama sulitnya dengan mempertahankan. Kemerdekaan bukan cuma ba-bi-bu. Di luar sana masih banyak para pejuang yang begitu besar rasa hormatnya terhadap tanah airnya, tanpa mempedulikan apakah sudah berhasil atau tidak Negara kita menjadi lebih baik dari masa ke masa. Sampai titik darah penghabisan, mereka memperjuangkan apa-apa yang terbaik demi mendapatkan sebuah kemerdekaan yang sempurna, bagi bangsa, maupun Negara.
Hebat.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan meninggalkan jejak :)

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com