Sebenarnya saya benci untuk berhenti. Maunya, saya jalan terus sampai benar-benar capek. Bahkan kalau kaki-kaki saya putus pun saya masih mau untuk tetap berjalan, karena mereka susah payah membuat jalan yang begitu panjang dan tak pernah mau sia-sia menjadikannya kosong begitu saja. Itu saja, saya mau jalan di jalan saya ini sebenarnya.
Tapi bahkan saya berhenti sebelum saya merasa capek, sebelum kaki-kaki saya putus. Saya berhenti begitu saja. Hanya ingin memastikan kalau otak saya masih bekerja dengan begitu baik. Saya mau realistis. Ada banyak hal yang saya palsukan, bahkan mungkin identitas saya palsu, jenis kelamin saya palsu, kepribadian saya palsu.
Random ya. Niatnya ini juga cuma mau nyampah, jadi sampah. Waktu kemarin malam Azam bilang ke saya, “Ditunggu aja dulu, Pus”. ‘Dulu’ itu mungkin kata yang tidak tepat sementara saya sudah menunggu sangat lama. Ibaratnya mungkin, dengan kegiatan menunggu yang selama ini betah saya lakukan, secara tidak langsung saya membuang begitu banyak waktu hanya untuk menutup mata dari hal-hal yang lebih nyata. Itulah kenapa saya selalu benci didukung untuk hal-hal seperti ini, karena saya cuma mau memikirkan kemungkinan terburuk supaya saya tidak berkespektasi terlalu tinggi sekalipun banyak orang bilang bahwa bermimpi itu penting karena suatu saat mimpi kita bisa menjadi nyata. Saya, tidak percaya.
Labil ya, baru beberapa hari lalu memantabkan diri untuk menunggu saja, tapi kemudian berhenti.
Saya cuma… takut. Takut kalau yang saya tunggu tidak datang. Saya pernah menunggu selama dua tahun dan rasanya cukup melelahkan. Saya cuma tidak mau mengulangi kesalahan yang sama untuk orang lain.
Bahkan ketika semalam saya mimpi kamu lagi—bahwa kamu mengatakan saya istimewa dan memperkanalkan saya di depan teman-temanmu—saya bangun dan merasa tidak ingin tidur lagi. Muak sudah.
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan meninggalkan jejak :)