Selangkah. Dua langkah. Berjalan anggun dengan kain jarik terlilit pada pinggang. Jejarak langkah yang tak mampu lebih lebar lagi tercipta. Terpanggul sekeranjang penuh botol berisi air racikan-racikan rempah dan toga pada punggung, membentuknya dari hari ke hari menjadi wanita bungkuk. Selembar kain lusuh, punggung yang tabah, dan kesabaran menahannya agar kokoh tak terjatuh. Ada harapan yang terpancar dari terik siang yang begitu menggigit. Berkeliling dengan kaki-kaki tua demi gelas-gelas terisi, pula pundi-pundi untuk hidup sehari-hari. Posisinya tergusur oleh modernitas zaman yang menggerus racikannya. Hanya dua-tiga orang yang masih mempercayakan kesehatannya pada dua-tiga gelas ramuan yang diraciknya dari hari masih petang. Modernitas yang menyisakan tetes-tetes peluh mubadzir yang tak menghasilkan apa-apa. Contoh sisa-sisa budaya yang diretak oleh masa. |
Senin, 30 Juli 2012
#9 Racikan Tabah
#8 Kolase
Perpaduan gelap biru tua mulai tergambar pada langit tepat saat mushala-mushala mengumandangkan adzan Magrib. Angin berhembus kencang di sini, meniupi segala ketenangan agar tak bergulir menjadi sepi. Hari ini di kantor sibuk, padat seperti biasanya. Orang-orang yang sama, meeting, kontrol ini-itu, tak pernah berhenti barang lima menitpun untuk ingat bahwa masih ada udara yang bisa dihirup. Rooftop selalu menjadi pilihan tepat. Tempat ini menjadi satu-satunya bagian terpenting dibandingkan tiga lantai ruang dalam yang kuhuni sendirian. Tiga-tiganya percuma, kecuali lantai dua, yang berisi kamar mandi favoritku. Aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam di sini. Ketiduran. Kedinginan sampai pagi. Sendirian. Ya, sendirian. Terdengar begitu emo dan begitu remaja untuk dewasa seusiaku. Tapi, pernahkah berpikir bahwa dari segala kepadatan yang tercipta tiap hari, tiap jam, tiap menit, tiap detik, yang sesungguhnya kau butuhkan pada akhirnya adalah sebuah ketenangan seperti ini? Sendiri seperti ini membuatku tetap ingat bahwa lagu favoritku masih Hey Jude milik The Beatles. Ingat bahwa ujung rambutku sudah mulai menyentuh kerah kemeja hingga terasa begitu gerah dan perlu dipangkas. Ingat bahwa aku masih punya waktu untuk melonggarkan dasi dan membuka dua kancing paling atas. Ingat bahwa banyak pakaian yang harus dicuci sedangkan aku belum juga cukup terampil menggunakan mesin cuci. Ingat bahwa minggu ini giliran anak-anakku yang menginap di rumahku agar ibu mereka bisa punya sedikit hari libur. Ingat bahwa aku harus merapikan tiga lantai ruang dalam agar layak disebut sebagai rumah kembali untuk mereka. Ingat bahwa aku adalah ayah, yang membutuhkan sosok seorang istri, ibu baru untuk mereka selayaknya anak-anakku yang baru saja mendapatkan ayah baru dari ibu mereka. Banyak yang harus diingat. Seperti kolase dari hal-hal penting yang tidak boleh tersia dan teracuh begitu saja. Dan segala yang banyak itu terasa datang bertubi-tubi hanya pada saat aku sedang menikmati waktu untuk sendiri seperti ini. Diiringi lagu-lagu The Beatles yang kuputar dengan volume maksimal, baru saja kuhabiskan puntung rokok mint yang ketiga sembari berharap besok adalah hari yang melegakan, selega hisapan aroma mint yang merasuk dalam pembuluh nafasku. Angin berhembus makin kencang, melayangkan asap-asap nikotin jauh-jauh. Pula penatku. |
Minggu, 29 Juli 2012
#7 Dansa
Didekap selimut, dalam dimensi ruang yang tak sama, kita bertemu dalam suatu alam yang sedang berkonspirasi membuat kita berdansa. Memadu gerak sambil memejam mata. Kanan, kiri. Kanan dua kali, kiri dua kali. Berputar. Kanan lagi, kiri lagi. Seperti waktu tak akan pernah bisa habis. Seperti bosan bukan lagi sesuatu yang eksis. Dan kita berdua tersulap menjadi sepasang yang manis. Selain kita, segalanya sedang melayang mencumbui udara. Aku yang lupa atau memang gravitasi hanya diciptakan untuk kita? Di bawah bulan yang sama, bumi yang sama seolah hanya dimiliki oleh kita berdua. Mana Adam? Mana Hawa? Kita saja yang menjadi fokus utama. Kita adalah hitam putih film bisu. Terus berdansa tanpa peduli apakah musik benar-benar pernah tercipta. Karena pagi terlalu cepat datang, sedang rindu enggan pulang. Aku bukan Cinderella yang akan pulang bersama kereta kuda pukul dua belas malam karena kau bukan pula pangeran yang perlu kutinggalkan. Biar kita berpeluk sampai pagi. Melenyapkan malam dengan gerakan-gerakan anggun yang minimalis. Lalu yang lain menjadi tak penting lagi. Di balik selimut yang berbeda, semoga mimpi yang sama merasuki tidurmu pula. |
Sabtu, 28 Juli 2012
#6 Juli Lalu
Adik sedang menyanyi. "Are you sleeping, are you sleeping? Brother John, brother John. Morning bells are ringing, morning bells are ringing. Ding.. dong.. ding.. Ding.. dong.. ding.." Tangannya masih terus memainkan krayon warna-warni melukis pemandangan. Belepotan, khas karya anak TK.
Ibu sedang menjahit pakaian. Kacamatanya melorot hingga ke ujung hidung. Alisnya naik, berkonsentrasi penuh mengamati detail pola tusukan jarum pentul pada sang kain sebagai penanda lokasi-lokasi di mana Ibu harus menghujamkan jarum-jarum pada mesin lewat lincah kaki dan tangannya.
Bapak sedang membaca koran. Halaman demi halaman dibacanya dengan sabar. Kalimat-kalimat tertata rapi seperti semut berbaris. Koran pagi yang dibaca malam hari sambil menikmati segelas ronde yang masih berkepul asap di meja depan Bapak.
Aku sedang menangis. Kupeluk erat mereka bertiga dalam satu bingkai foto. Kegiatan malam yang menjadi pemandangan sehari-hari di rumah kami. Kesibukan yang hangat. Kuabadikan dan kucetak diam-diam. Satu-satunya harta yang tersisa setelah Juli lalu kebakaran melahap rumah kami dan tak menyisakan ketiganya.
Rindu yang terisak, sesak.
Kamis, 26 Juli 2012
#5 Flamboyan
2.
Sebuah kotak kecil yang lebih mirip kardus, warnanya merah marun. Berisi kalung berliontin cendrawasih. Bulu-bulunya anggun terpahat pada emas yang entah asli, atau imitasi. Untuk si rambut sebahu yang suka bermanja sambil membicarakan mimpi-mimpinya hingga malam menidurkannya.
3.
Sebuah kotak kecil yang lebih mirip kardus. Sepasang mug kecil dengan motif geisha dan kaisar Jepang, bertengger manis di dalamnya. Teman sempurna saat minum teh berdua. Rayuan sederhana untuk gadis penggila dapur dan segala isinya.
4.
Sebuah kotak kecil yang lebih mirip kardus, dengan syal biru terlipat rapi di dalamnya. Tipis tapi keluaran merk fashion ternama. Untuk si teman kantor yang rela melakukan apa saja agar dibelikan ini itu.
* * *
Si Pria bergerak maju, mengemudikan mobilnya dengan segala persiapan rayu untuk meluluhlantakkan para gadisnya. Menata ulang empat rute persinggahannya agar hemat waktu.
Berbekal empat kotak kecil yang lebih mirip kardus, bibirnya komat kamit memohon agar Tuhan merahasiakan belang hidungnya.
#4 Gendhis dan Sebuah Akhir
Purworejo. Ribuan kilometer dari hari-hari normal. Mengasingkan diri sendiri, duduk berhadapan dengan semangkuk es coan di sebuah kedai penjual gado-gado favorit di tikungan perempatan, menciptakan sebuah pilu sederhana di akhir pekan. Ini namanya hidup. Masalah datang silih berganti seperti layaknya kendaraan berlalu lalang di jalanan. Sungguh tanpa henti. Pelarian seperti ini bukan hal yang harus dilakukan memang, tapi perlu. Aku melihat segala sesuatu mulai meremang ketika Gendhis datang pagi itu, mengabarkan kepindahannya ke Kalimantan. Dia diangkat menjadi pegawai tetap di sana, di sebuah biro perjalanan ternama. Maka tanpa perlu diaba, aku tahu akan berakhir ke mana hubungan kami pagi itu. Rokok tersulut, terhisap dan terproduksi asap-asap yang gemulai menari di udara dari bibirnya yang terpoles lipstick oranye. Kacamata hitamnya masih menggantung di sana, tanda tak ada waktu lagi untuk basa-basi, sebab keberangkatannya tinggal menunggu beberapa jam. Aku masih kusut, baru beranjak dari tidurku. Aku tak pernah memiliki kegiatan lain kecuali menyelesaikan kuliah yang tak kunjung selesai tepat waktunya. Sisanya, hidupku kuhabiskan untuk tercebur dalam kisah percintaan bersama Gendhis. Kupandangi perempuan itu, betapa dia telah berkarir mapan, yang entah mengapa, aku merasa begitu rendah dan tak layak untuknya. "Ini cuma sebuah perjalanan, Sayang. Jangan dianggap terlalu serius" katanya tegas. Aku masih kusut dan kuyu. Sementara Gendhis tak punya banyak waktu, justru aku masih tertekur pada pagi yang tabu ini. Masih berpikir keras dengan apa yang jangan dianggap serius? Empat tahun yang terjalin, atau kepergiannya? Kepulan asap membentuk barisan rapi, bulat-bulat. Dia telah berkemaja rapi, bersiap menjemput masa depannya yang terpatri pasti dalam rencana-renananya. Sementara aku masih berkaus kutang, jauh dari masa depan. Bukan Gendhis yang kelak harus menghidupi aku. Maka bukan aku pula orang yang layak mendampinginya. Pada pagi yang dingin itu, tanpa pemberat kurelakan Gendhis menjalani hidupnya tanpa perlu menjadikan dirinya setia menungguku yang berjalan tertatih di belakangnya. Lamat-lamat kuhabiskan semangkuk es coan suapa demi suapan. Mataku tertambat pada polisi-polisi lalu lintas di seberang sana. Polisi Purworejo tampan-tampan, katamu. Bersama dengan itu, masih kau genggam jariku erat tanpa celah. Semoga Purworejo menjadi persinggahanmu kembali. Dan pada suatu hari yang entah kapan, kelak kita akan bertemu di sini. Melempar senyum kemudian tawa. Mengulang kembali gurauan-gurauan yang telah usang sambil meneguk es coan. |
Selasa, 24 Juli 2012
#3 Sandal Terhebat
Aku bukan anak sekolahan yang memiliki sepatu, karena memang aku sudah lama putus sekolah. Kalau kau mau tahu, alas kaki termewah di rumah kami adalah sandal jepit. Sepasang saja, tidak lebih. Sadal ini hebat. Aku tidak pandai menghitung, tetapi aku yakin betul kalau usia sandal ini sudah mencapai separuh usiaku yang baru 11 tahun. Sandal ini melalang buana ke mana-mana, ke manapun kakiku dan kaki nenek melangkah. Ke pasar pagi-pagi bersama nenek membeli kacang kedelai, sepulang dari pasar si sandal sudah pindah kaki bersamaku memangkaskan rumput tetangga. Kalau aku lelah, aku pulang. Berganti lagi dengan nenek yang berkeliling kampung menjual tempe buatannya. Belum lagi kalau si Sandal harus ikut jalan-jalan ke hutan mencari kayu bakar untuk bekal memasak nenek yang masih mengandalkan tungku. Ah, ke mana-mana pokoknya. Hebatnya lagi, sandal ini seperti sengaja ditakdirkan untuk kami berdua. Pernah suatu hari, sandal ini hanyut di sungai waktu aku sedang mencari ikan-ikan kecil untuk lauk makan malam. Aku takut sekali, sandal ini enak bukan main. Lagipula rumah kami jauh sekali dari toko dan pasar. Aku tidak bisa mengejar karena arusnya deras sekali. Terpaksa aku pulang bertelanjang kaki. Esoknya, Daru, teman mainku, datang ke rumah membawa kresek hitam berisi sepasang sandal jepitku! Aku senang sekali. Nenek dan aku bisa beraktivitas lagi tanpa perlu meminjam alas kaki tetangga, atau justru membiarkan kaki-kaki kami hangus kering dibakar jalanan jika kami tidak beruntung mendapat pinjaman alas kaki. Ya, kami memang se-tidak-kaya itu. Tapi, orang kaya mana yang memiliki alas kaki lebih hebat dari sandal jepit kami? |
Senin, 23 Juli 2012
#2 Buku Bicara
Manusia serupa buku yang berjajar dalam kolong-kolong raknya. Dekat, rapat, akrab. Tapi, tetap saja masih bertopeng oleh sampulnya masing-masing. Lapuk mampat dalam kisahnya sendiri. Pun aku, satu di antara lusinan buku yang tegap berdiri dari hari ke hari dalam jajaran rak berlabel 'Biografi'. Tipis, kecil, jarang terbaca. Siapa yang akan tertarik? Aku tak percaya dengan ungkapan 'jangan menilai buku dari sampulnya'. Lalu bagaimana dengan aku yang sampulnya saja penuh dengan carut marut noda dan bekas lipatan? Pula warnaku hijau pucat. Kalau aku punya tangan seperti manusia, akan kutinju habis orang-orang yang masih bisa berkata demikian. Jelas-jelas mereka hanya mengambil buku dari rak dengan sampul yang menarik. Dia, misalnya. Buku ensiklopedia tentang bunga. Dari sampulnya yang tebal dan penuh dengan warna-warni menarik saja membuat orang tak perlu pikir dua kali, apalagi tiga kali untuk melahap isinya habis. Halaman deki halamannya berwarna, tak sepertiku yang tiap lembarnya menguning. Ah, sudahlah. Dia memang primadona di sini. Lagipula.. Lagipula seorang pria mengunjungiku kemarin siang. Pria berkacamata dengan dua lesung pipit. Dia tak pernah membawaku pulang. Aku dibaca habis di sini. Sepuluh halaman, lalu esoknya dia kembali membaca enam halaman, dan seterusnya. Tak masalah dia melipat ujung halamanku, yang penting adalah dia kambali lagi untuk membuka lipatannya dan mempelajariku hingga habis. Kalau tidak salah, hari ini dia akan kemari. Tinggal tujuh halaman lagi. Aku sudah bersiap sejak pagi. Haha, konyol bukan? Persiapan sebanyak apapun, aku tetap selusuh biasanya. Tak apalah, asal dia masih mau menyisihkan untukku. Bayangkan rasanya, dari puluhan rak buku dengan masing-masingnya berisi ratusan buku, aku terpilih begitu saja. Seperti memenangkan kontes tanpa susah audisi. Mungkin, dia adalah satu-satunya orang yang layak berkata 'jangan menilai buku dari sampulnya'. Ya, siapa lagi? Aku gelisah menunggu. Menunggu. Menunggu. * * * Ternyata sama saja. Tiga hari yang lalu si pria berlesung pipit itu akhirnya datang dan mengambilku dari rak, lantas menyelesaikan halaman demi halaman yang tersisa hingga habis. Ditutupnya sampul belakangku, hendak dikembalikan ke jajaran buku-buku lain di rak seperti semula. Lirih dia berkata "Ah ternyata biasa saja isinya". Lalu di melangkah ke rak buku Primadona. |
Minggu, 22 Juli 2012
#1 Pintu
"Bang, nanti sore Ibu mau ke sini. Mau nginap sampai besok" "Nanti Abang ada rapat lagi di kantor sampai malam. Salam buat Ibu" "Salam? Besok pagi juga masih bisa ketemu kan?" "Besok Subuh Abang sudah berangkat lagi. Belum tentu bisa ketemu Ibu" "Mm.. Bang?" "Ya?" "Jangan lupa cincin nikah kita dipakai. Nggak enak sama Ibu" "Cincinnya kekecilan di jari Abang. Udahlah, khawatir apa kamu ini? Selama kita masih satu rumah, kita masih suami istri kan?" * * * Ibu belum curiga, mengapa di rumah ini ada dua kamar yang tiap hari terpakai, padahal sehari-hari tak ada orang lain lagi di rumah selain aku dan Abang. Ibu tak akan sampai akal menebak dua kamar itu adalah satu milik Abang dan satu milikku. Abang tak mau sekamar. Butuh ruang lebih untuknya membunuh waktu menghabiskan pekerjaan kantor di rumah. Aku mengiyakan saja, rumah kami tak tersedia ruang kerja. Selanjutnya, Abang tertidur dan terbangun di kamarnya sendiri. Begitupun aku. Abang berangkat kerja dengan parfum berbeda tiap hari. Sampainya di rumah, tak disisakan aroma wangi itu untukku sama sekali. Aku curiga, lantas bisaku hanya diam karena Abang tak pernah mendengarkan bicaraku. Kalau beruntung, pagi hari aku bisa semeja makan dengan Abang. Menikmati dingin yang merambati tanpa banyak kata-kata. Cium pipi kiri, pipi kanan, lalu berangkat. Aku lebih terlihat seperti pemilik kontrakan, selingkuhan Abang. Daripada terlihat seperti belahan jiwanya sendiri. * * * "Jangan duduk di depan pintu, bikin jodohnya susah dateng!" Begitu tukas Ibu tiap kali melihatku melamun, duduk bersandar di kusen pintu dengan kaki terjuntai. Lunglai. Oh Ibu, aku sudah bersuami. Apa yang harus kutakutkan dengan duduk-di-depan-pintu-menyebabkan-jodoh-susah-datang? Itu mitos belaka, basi. Atau mungkin, justru gegara sering duduk di depan pintu, suamiku makin lama makin dijauhkan dari takdirnya sebagai jodohku? Ah, tidak. Tidak mungkin. Akan kubuktikan bahwa itu hanya mitos, Bu. Abang masih jodohku. * * * Di belakangku, telah berdiri gagah sebuah pintu berpalang tujuh. Sedari malam, susah payah kupaku balok-balok kayu pada kusennya untuk membuntu si pintu. Tawaku lirih, namun menggema. Keringat bercucuran. Lelah tapi bahagia. Kuringkukkan badanku di atas kursi kayu, persis di depan pintu. Pssstt, Subuh belum tiba. Ayam masih lelap di atas kandangnya. Di balik pintu ini ada suamiku yang masih mendengkur nyenyak di kamarnya akibat obat tidur. Abang tidak boleh ke mana-mana lagi. Pintu kamar Abang sudah kupalang. Juga semua pintu lainnya di rumah ini. Aku masih bersama Abang, dari luar kamar kujaga Abang. Berdua saja begini sampai sama-sama mati. Sama-sama masih menjadi suami istri, walau terhalang sebuah pintu berpalang. Abang tidak boleh ke mana-mana lagi. Aku terkikik sendiri. |
Proyek #30Hari90Cerita
Haaaaaai. Haha udah lama banget nggak ngeblog ya, ini blognya berdebu banget. Maklumlah, jadi ceritanya laptop saya belum sembuh. Makanya hiatusnya lama banget. |
Sabtu, 21 Juli 2012
Cermin
Ini sungguh lucu, bagaimana sebuah kepercayaan dapat memainkan peranan yang begitu penting dalam hidup kita. Bahkan dia hanya kata yang abstrak. Sent from Yahoo! Mail on Android |