Ada sebuah foto yang membingkai saya dan Mama.
diambil entah tanggal berapa, yang jelas di suatu siang sepulang dari acara
wisuda SMA beberapa tahun lalu. Fotonya tak begitu jelas, tapi itu foto terbaru
saya dengan Mama yang diambil asal-asalan. Mama tidak suka diajak berfoto. Saat
itu, yang saya harapkan adalah, di sisi kanan saya ada Papa yang merangkul bahu
saya, dan lengkaplah foto itu.
Tapi
ternyata hidup tak sesederhana apa yang saya inginkan. Papa sudah meninggal
sebelum menyaksikan kelulusan saya dari bangku SMA dan kelolosan saya memasuki
Universitas Negeri favorit. Saya kehilangan ayah sekaligus sahabat yang setia
mendampingi saya selama tujuh belas tahun. Dan di sanalah kemudian Mama
menggandakan peran menjadi ibu sekaligus ayah untuk saya.
Kalau
boleh jujur, saya dan papa adalah seperti dua mata uang yang saling rekat dan
begitu satu. Sedangkan dengan Mama saya tidak begitu. Saya lupa, ke mana saja
saya selama 17 tahun, seperti tidak mengenal sama sekali ibu saya. Yang saya
tahu, kami hanya serumah dan melakukan aktivitas masing-masing. Tapi juga tidak
pernah bertikai.
Begitu
papa meninggal, berada satu rumah dengan Mama saja itu hal yang canggung. Kami
seperti dua orang asing yang baru berkenalan.
Sudah hampir empat tahun kami
menghabiskan waktu berdua
saja, sekaligus tahun keempat kedekatan kami. Saya menyesal, mengapa
saya begitu acuh dengan beliau. Saya menyesal begitu terlambat mengenali Mama
saya sendiri, sedangkan saya tidak pernah tahu berapa lama lagi waktu yang bisa
kami habiskan berdua.
Kami
memiliki banyak kesamaan. Kami sama-sama pendiam, namun ketika ada bahan
pembicaraan, kami bisa begitu meledak-ledak. Kami humoris, hal yang
begitu-sangat-sepele-sekali bisa kami simpangkan menjadi sesuatu yang begitu
lucu dan bodoh. Kami tak banyak peduli dengan orang lain, karena kami merasa
tak perlu tercebur terlalu dalam ke dalam hidup orang lain. Kami jago memendam
masalah, hingga suatu saat tangis bisa memecah begitu saja. Kami tak suka
bepergian jauh tanpa keluarga karena satu pemikiran yang sama : ketika di jalan
tiba-tiba kami harus tewas, maka itu adalah cara tewas yang sia-sia karena tak
berada dekat dengan keluarga.
Tapi,
seberapa banyakpun kesamaan kami, Mama
tetap yang sempurna. Mama pengingat yang baik, melengkapi sifat pelupa saya
yang begitu parah. Mama teliti, melengkapi saya yang ceroboh. Mama berwawasan
luas dalam agama, melengkapi pengetahuan saya yang masih jauh dari Tuhan. Mama
pandai berkomentar, melengkapi saya yang kurang bisa belajar dari kesalahan. Dan
Mama adalah juga sosok ayah, melengkapi kebanggaan saya di balik kehilangan
yang teramat dalam.
Kami
tidak pernah bertengkar hebat. Pertengkaran kecil selalu hanya karena
disponsori oleh mood yang sedang
tidak cukup bagus. Namun setelah itu, sekecil apapun pertengkaran kami, saya
selalu menangis dan menyesal. Mama itu harta saya yang terbesar, satu-satunya orang
tua saya. Saya begitu takut membayangkan Mama menyusul papa sebelum saya bisa
berbuat sesuatu yang berharga untuknya. Maka, di siniliah saya, sepakat bahwa
bahagia itu bisa melihat Mama tertawa. Dan menjadi tugas saya untuk setiap
waktu bisa menjaga ketenangan dan keceriaan Mama lewat doa dan kedekatan yang
terus menerus saya sulam tiap harinya.
Sejak
mengenal Mama, cita-cita saya berubah drastis. Saya yang awalnya ingin menjadi
penjaga Taman Safari, pemilik toko mainan, penulis, koki, dan masih banyak
lagi, konsisten untuk kemudian merombaknya menjadi : ibu rumah tangga. Lebih
spesifik lagi, yang seperti Mama. Saya benar-benar ingin menjadi ibu rumah
tangga seperti Mama, yang tanpa cacat. Yang setia mengurus suami dan tak pernah
mengeluh lelah membesarkan anak-anaknya yang belum juga sanggup membuat beliau
bangga. Itu bukan profesi sederhana. Menjadi ibu rumah tangga seperti Mama
adalah profesi luar biasa yang urusannya dengan Tuhan, bukan sekedar dengan
gaji bulanan atau orang-orang lain di balik kesuksesan. Adalah diri saya
sendiri yang sanggup merubah saya menjadi seperti itu, seperti bagaimana Mama
berjuang mati-matian menjadi seorang ibu.
Pada
akhirnya, saya kehabisan kata. Mama terlalu sempurna sampai rasanya segala
tulisan tentang Ibu terlalu remeh temeh kalau ditujukan untuknya. Karena
beliau, lebih hebat dari tumpukan kata-kata yang disusun begitu rapi dan penuh
cinta untuk mendeskripsikan seorang ‘Ibu’.
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan meninggalkan jejak :)