Sabtu, 22 Desember 2012

22 Desember




Ada sebuah foto yang membingkai saya dan Mama. diambil entah tanggal berapa, yang jelas di suatu siang sepulang dari acara wisuda SMA beberapa tahun lalu. Fotonya tak begitu jelas, tapi itu foto terbaru saya dengan Mama yang diambil asal-asalan. Mama tidak suka diajak berfoto. Saat itu, yang saya harapkan adalah, di sisi kanan saya ada Papa yang merangkul bahu saya, dan lengkaplah foto itu.
Tapi ternyata hidup tak sesederhana apa yang saya inginkan. Papa sudah meninggal sebelum menyaksikan kelulusan saya dari bangku SMA dan kelolosan saya memasuki Universitas Negeri favorit. Saya kehilangan ayah sekaligus sahabat yang setia mendampingi saya selama tujuh belas tahun. Dan di sanalah kemudian Mama menggandakan peran menjadi ibu sekaligus ayah untuk saya.
Kalau boleh jujur, saya dan papa adalah seperti dua mata uang yang saling rekat dan begitu satu. Sedangkan dengan Mama saya tidak begitu. Saya lupa, ke mana saja saya selama 17 tahun, seperti tidak mengenal sama sekali ibu saya. Yang saya tahu, kami hanya serumah dan melakukan aktivitas masing-masing. Tapi juga tidak pernah bertikai.
Begitu papa meninggal, berada satu rumah dengan Mama saja itu hal yang canggung. Kami seperti dua orang asing yang baru berkenalan.
Sudah hampir empat tahun kami menghabiskan waktu berdua saja, sekaligus tahun keempat kedekatan kami. Saya menyesal, mengapa saya begitu acuh dengan beliau. Saya menyesal begitu terlambat mengenali Mama saya sendiri, sedangkan saya tidak pernah tahu berapa lama lagi waktu yang bisa kami habiskan berdua.
Kami memiliki banyak kesamaan. Kami sama-sama pendiam, namun ketika ada bahan pembicaraan, kami bisa begitu meledak-ledak. Kami humoris, hal yang begitu-sangat-sepele-sekali bisa kami simpangkan menjadi sesuatu yang begitu lucu dan bodoh. Kami tak banyak peduli dengan orang lain, karena kami merasa tak perlu tercebur terlalu dalam ke dalam hidup orang lain. Kami jago memendam masalah, hingga suatu saat tangis bisa memecah begitu saja. Kami tak suka bepergian jauh tanpa keluarga karena satu pemikiran yang sama : ketika di jalan tiba-tiba kami harus tewas, maka itu adalah cara tewas yang sia-sia karena tak berada dekat dengan keluarga.
Tapi, seberapa banyakpun kesamaan kami, Mama tetap yang sempurna. Mama pengingat yang baik, melengkapi sifat pelupa saya yang begitu parah. Mama teliti, melengkapi saya yang ceroboh. Mama berwawasan luas dalam agama, melengkapi pengetahuan saya yang masih jauh dari Tuhan. Mama pandai berkomentar, melengkapi saya yang kurang bisa belajar dari kesalahan. Dan Mama adalah juga sosok ayah, melengkapi kebanggaan saya di balik kehilangan yang teramat dalam.
Kami tidak pernah bertengkar hebat. Pertengkaran kecil selalu hanya karena disponsori oleh mood yang sedang tidak cukup bagus. Namun setelah itu, sekecil apapun pertengkaran kami, saya selalu menangis dan menyesal. Mama itu harta saya yang terbesar, satu-satunya orang tua saya. Saya begitu takut membayangkan Mama menyusul papa sebelum saya bisa berbuat sesuatu yang berharga untuknya. Maka, di siniliah saya, sepakat bahwa bahagia itu bisa melihat Mama tertawa. Dan menjadi tugas saya untuk setiap waktu bisa menjaga ketenangan dan keceriaan Mama lewat doa dan kedekatan yang terus menerus saya sulam tiap harinya.
Sejak mengenal Mama, cita-cita saya berubah drastis. Saya yang awalnya ingin menjadi penjaga Taman Safari, pemilik toko mainan, penulis, koki, dan masih banyak lagi, konsisten untuk kemudian merombaknya menjadi : ibu rumah tangga. Lebih spesifik lagi, yang seperti Mama. Saya benar-benar ingin menjadi ibu rumah tangga seperti Mama, yang tanpa cacat. Yang setia mengurus suami dan tak pernah mengeluh lelah membesarkan anak-anaknya yang belum juga sanggup membuat beliau bangga. Itu bukan profesi sederhana. Menjadi ibu rumah tangga seperti Mama adalah profesi luar biasa yang urusannya dengan Tuhan, bukan sekedar dengan gaji bulanan atau orang-orang lain di balik kesuksesan. Adalah diri saya sendiri yang sanggup merubah saya menjadi seperti itu, seperti bagaimana Mama berjuang mati-matian menjadi seorang ibu.
Pada akhirnya, saya kehabisan kata. Mama terlalu sempurna sampai rasanya segala tulisan tentang Ibu terlalu remeh temeh kalau ditujukan untuknya. Karena beliau, lebih hebat dari tumpukan kata-kata yang disusun begitu rapi dan penuh cinta untuk mendeskripsikan seorang ‘Ibu’.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan meninggalkan jejak :)

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com