Sekali
ketuk.
Dua
kali.
Enam
kali.
Tidak
ada siapa-siapa di rumah. Tak ada pasang-pasang lugu sandal di teras.
Rumput-rumput kecoklatan. Dedaunan pohon mangga menguning berguguran. Pot
keramik tempat dulu setangkai mawar lebat tumbuh merekah, kini hanya tersisa
tanah seadanya dan tangkai busuk layu.
Tak
ada kursi rotan tempat sore dihabiskan sambil mengunyah biskuit dan membaca koran.
Tak ada riuh kesibukan. Pintu dan jendela rapat tertutup, tak ada yang mau
diintip, tak ada yang bisa diintip.
Debu
tebal berlapis-lapis menyelimuti segala yang ada. Lusuh dan seabu-abu mendung
yang memorak-porandakan perasaan. Tanah masih basah, tak lama setelah hujan
menit-menit lalu berhenti. Namun, hanya basah. Tak memberi jawaban kehidupan
atas apa yang tersisa di balik tirai-tirai yang rapat tergantung di jendela-jendela
kaca berparas kelabu.
Ranselku
penuh sesak membebani punggung. Dadaku tak kalah sesak, ada yang mencekik
seiring keluar-masuknya sengal nafas. Dua belas tahun yang lalu aku tumbuh dan
bermain di rumah ini. Menikmati pagi hingga pagi lagi, ditemani masakan Ibu dan
siulan Bapak. Kini sama sekali berbeda setelah aku kembali dari masa rantau
yang tak direstui.
Dua
belas kali.
Enam
belas kali.
Tak
ada siapa-siapa di rumah.
Lalu
senyap merayapi langkah kaki di sepanjang jalanku kembali, entah akan ke mana.
“Ibu,
Bapak, aku sudah pulang”, ronta batinku lirih. Pagar besi berkarat kututup kembali,
kutinggalkan lagi apa yang seharusnya kutinggali.
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan meninggalkan jejak :)