source |
Saya
mendengar nama Pak Ino Yuwono sebagai sosok yang killer di mata kakak-kakak angkatan di Fakultas Psikologi Unair.
Tentang hukuman-hukuman yang beliau berikan, kedisiplinan yang beliau terapkan,
kalimat-kalimat kasar yang beliau utarakan, seolah tak ada satu sisi pun yang
bersahabat dari seorang Ino Yuwono.
Saya
sendiri baru merasakan diajar Pak Ino adalah ketika mengambil mata kuliah Asas
Manajemen (atau yang biasa disingkat dengan Asmen) pada semester tiga. Beliau
tak seberapa sering emngajar di kelas saya, hanya sekitar tiga kali. Sisanya,
saya bisa melihat beliau seliweran di Fakultas, mengobrol dengan dosen lain.
Kesan
pertama ketika beliau memasuki kelas saya, jujur saya takut, takut menjadi sasaran beliau. Melihat sosoknya yang
jauh dari raga muda, saya berkata “Kapan sih orang ini pensiun?”. Pemikiran
yang penuh dosa, saya akui. Tapi, pikiran itu segera terganjar dengan
berjalannya waktu yang saya nikmati ketika menjumpai beliau di kelas.
Daya
ingat saya rendah, saya tak mampu mengingat sebaik dan sama persis dengan apa
yang diingat teman-teman mengenai kalimat-kalimat yang beliau utarakan di kelas
kala itu. Satu yang saya ingat betul, beliau berkata bahwa beliau menginginkan
sarjana Fakultas Psikologi Unair lulus sebagai mahasiswa yang berpedoman buku,
bukan lulus sebagai mahasiswa power point.
Berkali-kali beliau menekankan pentingnya membaca dan membaca. Itu yang saya
ingat. Sisanya, saya menyukai candaan-candaan beliau yang kerap kali menggoda
beberapa mahasiswa di kelas.
Tapi
jujur, ingatan minim itu mampu merubah saya. Saya jadi gemar membaca. Buku
Asmen yang setebal itu saya tuntaskan. Bahkan saya begitu bersemangat mencatat
kembali apa yang saya pelajari untuk
lebih memudahkan jika sewaktu-waktu saya butuhkan. Dan semangat itu
bukan karena rasa takut saya akan Pak Ino, namun lebih kepada bagaimana ketika
itu juga saya merasa bahwa membaca itu perlu, bukan wajib. Dan atas usaha dan
kesadaran saya waktu itu, saya mendapatkan nilai yang menurut saya merupakan
nilai pertama yang worth it dalam
transkrip nilai saya. Nilai yang memberikan hasil sebanding dengan usaha yang
saya lakukan.
Lalu
pada akhirnya, datang sebuah pagi yang mendung di mana semua warga Fakultas
Psikologi berhamburan keluar, Selasa lalu tepatnya. Isak tangis mengiringi
kami, bersamaan dengan kabar bahwa Pak Ino telah kembali pada Tuhan. Semua
mendadak kelabu. Kematian beliau begitu cepat dan mengagetkan. Rasanya lemas.
Baru sehari sebelumnya masih kami lihat Pak Ino mengajar dan duduk-duduk di
lobby, merokok asyik.
Saya
tak terlalu mengenal beliau, tapi saya merasa kehiangan sekali. Beliau
bijaksana, bukan killer. Dan beliau
sangat menyenangkan di kelas. Candaan-candaan beliau yang khas, tawa beliau
yang kharismatik, saya menangis mengingat betapa menyesalnya saya mengharapkan
beliau pension lalu dikabulkan oleh Tuhan dengan cara-Nya. Saya luar biasa
kehilangan.
Berhari-hari
timeline Twitter dipenuhi tagar
#InoYuwono. Tentang kalimat-kalimat beliau, gaya khas beliau, tentang memori-memori
warga Psikologi bersama Pak Ino. Secara personal, saya menyesal tidak mengambil
peminatan Psikologi Industri dan Organisasi sehingga jarang dan kurang mengenal
beliau. Tapi, membaca semua itu membuat air mata saya meleleh lagi.
dan masih banyak lagi
Setiap
kalimat yang beliau lontarkan, bahkan pada saat bercanda pun memiliki makna
yang begitu dalam, menancap dan melekat di hati pendengarnya. “Kalian berharap
saya pensiun? Walaupun saya pensiun saya nggak akan berhenti ngajar. Saya nggak
suka penelitian, saya lebih suka ngajar. Biar, walaupun pangkat saya nggak naik”
begitu kata beliau sekali waktu. Betapa beliau membangkitkan semangat kami
semua untuk menuntut ilmu dengan sebaik-baiknya niat dan cara. Beliau memiliki maksud dan tujuan yang begitu hebat di balik kedisiplinan yang beliau junjung tinggi, sama halnya dengan bagaimana orang tua menginginkan yang terbaik bagi anaknya melalui cara mereka masing-masing.
Lalu
saya berpikir, beliau begitu dibenci tapi juga begitu dicintai. Tak terhitung
berapa banyak yang merasa kehilangan beliau, berapa dalam lubang menganga yang
ditinggalkan beliau dalam hati kami, atau berapa banyak pelajaran berharga yang
beliau bagi pada kami. Beliau dikenang sebagai orang yang dicintai, sangat
dicintai.
Sedangkan
saya, nantinya, akan pergi dengan meninggalkan banyak kenangan baik yang
membekas di hati orang-orang yang saya tinggalkan?
Source: IG @ramadhanicitraa. Di Fakultas Psikologi Unair, Pak Ino dianggap perwujudan tokoh Mr. Frederikson dalam film animasi Up! |
Selamat
jalan, Pak Ino Yuwono, Mr. Frederickson. Kau akan tenang di sana bersama doa-doa dari kami, yang
mencintaimu dari sini. Kami akan tenang di sini dengan sejuta kenangan bersamamu
yang tak tertandingi hebatnya. Doakan kami sukses menjadi sebaik-baiknya
mahasiswa yang mengabdi pada ilmu.
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan meninggalkan jejak :)