“Aku,
cenayang”
Satrio
menghentikan hisapan rokoknya. Ruangan menjadi lengang, begitu lengang hingga
mampu kudengar jelas suara nyamuk yang sedang beterbangan mengisi jeda kosong
di antara kami.
“Serius.
Aku cenayang”
Dia
lantas mengelus jenggotnya yang semakin terjalin menjadi satu ikatan dengan
kumis. Lalu, seperti bicaraku adalah angin lalu, dia kembali berkutat dengan rokonya.
Mengepulkan asap-asap penuhi gas beracun yang selalu membuatnya terbatuk di
penghujung malam. Tak pernah digubris permohonanku agar dia berhenti
mengonsumsinya.
“Sudah
sebulan ini. Ada yang masuk ke dalam kamarku dan berbicara malam-malam. Mereka ada banyak, gaduh sekali. Aku bisa
mendengar mereka berbisik-bisik,
membicarakan aku” suaraku mendadak gemetar, ada rasa takut yang merambati
sekujur tubuh. Gigil tiba-tiba ikut menjalar dari ujung kaki hingga kepala. Rasa
yang sama, yang selalu muncul tiap kali aku menceritakan hal ini pada orang
lain.
“Suruh
mereka keluar” tuturnya santai.
Ah,
dia tidak tahu bagaimana rasanya jadi aku yang tiba-tiba diikuti mereka tiap kali gelap datang. Seperti…
sekarang!
“Nggak
bisa. Mereka di sini. Sekarang juga” aku menengok seisi ruang bercat putih ini.
Saru suara keluar, dua, tiga, lalu terdengar begitu ribut di sekelilingku. “Sat..
bawa aku keluar. Bawa aku!” teriakku. Mereka
seolah bergantian menerorku dengan berbagai macam hinaan. Aku dicaci habis.
Juga, satu suara mengatakan bahwa aku harus mati.
Aku.
Harus. Mati.
Mereka
menikam telingaku dengan suara-suara tak berwujud. Keringat dingin mulai
kurasakan munculnya. Kugigit keras bibir bawahku sambil terus kupeluk erat
gulingku. Erat sekali. Kulihat Satrio mulai berkemas. Sigap dia keluar dari
kamarku, terburu-buru lebih tepatnya. Ingin kutahan, tapi pita suaraku seperti
tercekat. Habis, tak keluar sepatah katapun untuk memintanya tetap di sini.
Tak
lama, beberapa orang berpakaian serbaputih menyuntikkan sesuatu ke dalam
tubuhku.
***
Aku
menghela nafas yang semakin berat tiap kusaksikan istriku meronta hebat dengan
tubuhnya yang pucat pasi, meneriakkan ketakutanny. Sementara yang bisa
kulakukan hanya memanggil lebih banyak perawat lagi untuk mengontrol
tindakannya yang tak kunjung mendekati harapan kami, yaitu kesembuhannya.
Butuh
waktu yang cukup lama menyadari bahwa ini semua nyata.
Kutekan
pedal gas mobil, bersiap meluncur kembali pada rumah istriku yang kedua.
Meninggalkan kenyataan bahwa seorang wanita yang masih membutuhkanku tengah
mengadu nasibnya pada panti Skizofrenia.
Apapun
yang terjadi, tak akan kusahkan dia sebagai masa laluku.
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan meninggalkan jejak :)