Serabi Keju (Jalan Terakhir)

Serabi keju.

Sudah enam jam tergeletak di atas meja. Utuh. Dingin.

Itukah kamu ? Yang berjalan bergandeng tangan dengan seorang perempuan cantik. Lihatlah, kamu tertawa lepas seperti tidak ada beban ketika di sampingnya. Jelas dia lebih segalanya : lebih cantik, lebih tinggi, lebih berisi, lebih dan lebih. Setidaknya, dibandingkan denganku.

Aku mengamatimu dari seberang. Berusaha menghindar dari penglihatanmu, aku bersembunyi di balik antrean orang yang fokus memesan serabi solo yang katanya enak itu. Agar penyamaranku terlihat total, aku juga memesannya. Sekotak serabi solo. Berisi lima gulung serabi dengan taburan keju.

Lalu masih saja mengamatimu dari jauh, sejauh daya tangkap mataku bisa melihatmu. Sebelum akhirnya kamu pergi dengan motormu. Dengan perempuan itu merangkulmu dari belakang.

Itukah kamu ?

Sekarang aku berdampingan dengan si serabi keju selama enam jam terakhir ini, bukan denganmu. Aku tak tertarik sama sekali dengan jajanan yang kubeli itu. Aku hanya tertarik melirik handphone-ku. Belum ada namamu muncul di display­-nya.

Aku pikir, mungkin lebiih baik membeli perhatianmu daripada harus membeli makanan yang pada akhirnya juga akan berakhir di tempat sampah itu. Tidak berguna. Tapi perhatianmu sudah terbeli olehnya. Ibarat pebuah ajang pelelangan, perempuan itu menang mutlak.

Lalu kalau ternyata dia memang lebih layak dan lebih baik menjadi seorang pemilikmu, dan dengan kemampuannya bisa menjaga dan membuatmu merasa aman sekaligus nyaman berada di dekapannya, maka merelakan adalah pilihan satu-satunya. Jalan terakhir.

Hhh, aku melenguh. Serabi keju dan aku, tak berpemilik, tak diinginkan, terbuang.