Kamis, 10 Maret 2011

Warung Kopi

Jam-jam terbaik menikmati meriahnya suasana jalanan adalah malam hari. Orang-orang di atas Vespanya, gerutuan di balik helm pengendara motor, bunyi-bunyi klakson dari tangan-tangan pengendara mobil, sampai aksi-aksi selipan kecil penumpang gowes. Mereka bercengkrama dengan polusi malam di bawah sinar kuning temaram lampu jalanan. Dan hanya saat malam harilah mereka terlihat indah untuk dinikmati.

Sebenarnya, ini adalah waktu yang sia-sia. Menghabiskan uang di sebuah warung kopi murahan pinggir jalan, berkutat dengan obrolan-obrolan lelaki. Tapi setidaknya, ini jauh lebih menenangkan daripada harus berlama-lama menghabiskan waktu di depan televisi, menemani wanita berdaster yang tidak lelah dan jera mengomeli kesalahanmu dari pagi hingga larut. Atau hanya untuk melewati waktu di teras sendirian, bengong. Karena teman laki-laki di rumah satu-satunya—Ayah—harus tidur mendengkur karena kelelahan bekerja.

Di siniliah kami. Para laki-laki yang ingin berbagi kopi. Berbagi ampas cerita dari bibir ke bibir, menertawakan hidup yang makin amburadul. Kami punya segudang cerita menarik, tak melulu masalah perempuan seksi yang berkeliaran dengan rok kurang bahan, atau tentang kenakalan-kenakalan khas remaja labil. Kami punya lebih banyak kisah dari sekedar hal-hal dangkal seperti itu.

Pembicaraan tentang kesiapan si David yang minggu depan berencana melamar wanitanya, tentang kecelakaan beruntun yang terjadi di persimpangan jalan Ahmad Yani Surabaya beberapa waktu lalu, tentang aib-aib kecil yang konyol dari keluarga di rumah, tentang pekerjaan, tentang kenangan tentang teman mengopi yang sudah pindah ke luar kota atau bahkan sudah habis umurnya, sampai tentang hal-hal yang berat yang perlu direnungkan dan dibagi bersama mengenai kehidupan yang sejauh ini belum kunjung habis.

Dan yang paling berat adalah ketika kami sampai pada satu titik membicarakan tentang Negara. Tentang politik buta yang peredarannya bisa secepat uang cetakan Bank Indonesia. Tentang para pemimpin yang—entahlah—terlalu banyak menyembunyikan dosa di balik kelebihan yang mereka agungkan di depan publik, tentang rakyat yang melunta-lunta di jalanan dan harus berbagi sebungkus nasi dengan empat sampai lima kawan lainnya. Lalu bersama-sama menelan pro-kontra kehidupan politik hingga budaya di luar sana. Mencerca, memaki banyak kepalsuan dari Negara kecil yang terlalu luas dan buas : Indonesia.

Tak lupa kami membicarakan kisah cinta. Tidak bisa semanis Romeo dan Juliet yang bahkan belum pernah kami jamah ceritanya. Tapi cukup menarik untuk diperdengarkan kepada yang lain. Bergeleng bersama untuk keanehan perempuan, lalu kembali mengutarakan betapa menyenangkannya bisa bersama mereka dalam rentan waktu yang lama dan bisa dibanggakan keawetannya. Atau tentang yang baru patah hati. Tak perlu ditanya macam-macam atau diintimidasi agar mereka mau bercerita bagaimana detailnya hingga hati mereka bisa melebur seperti itu. Cukup melihat dari jumlah cangkir kopi yang mereka habiskan, pasti lebih banyak dari biasanya, lebih banyak dari yang lainnya. Dan lebih diam dari biasanya.

Jadi, ini hanya sebuah gerobak kecil penjaja kopi pahit yang selalu mangkal di pinggir jalan. Sebuah tempat berkumpulnya sejenis kami yang hobi membunuh waktu hingga pagi datang lagi. Kami sebut ini Negara Kopi. Terpal-terpal digelar untuk lesehan, menghisap rokok dan menikmati tetes kopi hingga akhir ampasnya. Berbagi pengalaman.

Dan inilah kami, para lelaki penikmat kopi. Bertandang dari warung ke warung, mencari sudut pandang dan orang-orang baru. Mendengar cerita-cerita baru.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan meninggalkan jejak :)

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com