Ini hari ketiga sejak kesadaranmu makin manurun. Makin banyak cairan yang tersalur dari botol-botol infus itu, mengaliri selang-selang bening yang tertancap di tubuhmu. Kamu masih di sana. Terbujur kaku dalam komamu. Mungkin kamu sedang tertidur dalam waktu yang sangat lama. Entahlah. Pikiranku kalut, hatiku komat-kamit melantun doa. Aku takut.
Wajahmu memucat, pasi. Lalu seperti inilah aku mulai merasa kamu tinggalkan perlahan-lahan. Semakin keras aku mengingat semua waktu yang kita habiskan berdua, semakin menyakitkan aku memikirkan kemungkinan kepergianmu. Kamu seperti tiang penyanggaku. Tanpa kamu, aku cuma sebatas lantai dan atap tanpa penyangga. Roboh. Lebur berkeping.
Entah dosa apa namanya. Aku tinggalkan kamu di jalanan itu, menantang hujan yang kamu biarkan menghabiskan seluruh panas tubuhmu. Jam demi jam, sore hingga malam. Lalu di sanalah kesadaranmu mulai pergi. Bukan. Bukan aku melupakan janji kita sore itu. Janji setiap hari Sabtu jam empat sore sampai kita habiskan malam. Kita habiskan waktu berdua—yang hanya seminggu sekali—untuk memamah biak segala keluah kesah dan cerita yang harus diluapkan. Kita sama-sama sibuk, itulah kenapa hanya ada satu hari untuk diluangkan bersama.
Tapi aku sangat sibuk waktu itu. Kamu tahu ? Aku. Sangat. Menyesal. Aku mempunyai banyak kesempatan untuk beregois waktu itu, membuang salah satu kegiatan yang tidak terlalu menjadi prioritas dan tidak sedang dalam kurungan deadline. Dan bodohnya, kamulah yang aku pilih untuk aku tinggalkan.
“Pulanglah”, sudah aku bilang berkali-kali, bercampur dengan bisik hujan yang makin mengeras dari saluran teleponmu. Kamu, dengan diammu itu, seperti ingin terus menungguku. Seperti ada banyak hal yang sudah kamu tulis rapi-rapi dalam kertas di pikiranmu untuk kamu bacakan kepadaku. Keras kepalamu membuatmu terus menunggu.
Kenapa harus menunggu aku ? Aku tidak sedang menyalahkanmu. Aku salahkan diriku sendiri berkali-kali. Cacat otakku memikirkan betapa salahnya perbuatanku. Ambil umurku, ambil kesadaranku, ambil semua kemampuanku untuk bisa meneruskan kehidupanmu. Tolong, ambillah. Aku tulus menawarkannya untukmu. Ambillah, atau aku tidak akan bisa berhenti terjebak dalam kekeluanku menyaksikan komamu.
Lalu detik makin bergulir seperti tidak ingin menunggu. Dokter bilang, kamu radang otak. Sudah lama kamu idap. Dokter bilang, kamu kritis. Tidakkah itu menyesakkan ? Kritismu terlalu lama, Sayang. Aku ingin ikut.
Sungguh, bangunlah. Tidak akan ada lagi aku meninggalkan kamu. Soreku, dan seluruh hariku hanya untuk kamu. Hanya untuk mempekerjakan hati dan telingaku untuk mendengarkan hatimu. Janji.
Dan hari keempat, ternyata kamu berkhianat.
Terima kasih atas kepergianmu. Maaf kalau aku harus menghabiskan lebih banyak waktu lagi untuk memenjara diri dalam perasaan bersalahku.
Sulitkah perasaan ini untuk kamu pahami ? Tidak perlu bersusah payah memberikan perhatian lebih pada perasaan yang kamu tinggalkan ini. Hanya saja, aku cinta kamu. Seperti waktu, tidak bisa berhenti.
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan meninggalkan jejak :)