Senin, 02 Mei 2011

Alasan


Saya mau jalan-jalan, ke deretan toko yang berlabel serba ada. Ada satu barang yang mau saya beli. Kata orang-orang, wujudnya gas. Terjual dalam botol-botol kaca. Sekali kamu membuka penutup botolnya, langsung teguk secapatnya partikel-partikel gas di dalamnya, jangan biarkan ada gas yang meleset keluar dari rongga kerongkonganmu sedikitpun. Ini mungkin semacam obat penenang ya. Jadi, supaya bisa benar-benar tenang, jangan sampai kehilangan sedikitpun porsi dari obat ini.
Namanya, alasan.
Saya butuh sekali alasan. Seperti sakau kalau tidak bertemu dengan alasan. Segala sesuatu yang saya temui akhir-akhir ini banyak yang tidak jelas. Banyak yang berdiri tanpa alasan. Oh, ayolah, alasan itu penting. Bohong kalau ada yang bilang “Saya tidak butuh alasan”.
Mungkin alasan itu seperti ganja buat saya, walaupun saya sendiri belum pernah dan berjanji tidak akan pernah tahu seperti apa rasanya mengganja. Kalau orang bilang “bikin nagih”, itulah yang saya rasakan. Segala sesuatu itu pasti ada alasannya. Bahkan Tuhan pun punya alasan tersendiri mengapa menciptakan kehidupan.
Sesuatu yang tidak beralasan itu menyebalkan. Saya sebal kalau ada orang berargumen tanpa alasan yang pasti. Saya sebal kalau ada orang yang melakukan suatu tindakan tanpa alasan. Ini semua lepas dari konteks bercanda. Kalau bercana, semua ngawur, semua ngelantur. Bercanda tidak perlu alasan, semakin membelok, semakin dianggap lucu.
Jadi, saat ini ada satu hal yang membuat saya tidak nyaman. Ah, saya malas menceritakannya, tidak akan ada yang paham kalau saya harus curhat panjang lebar. Intinya, saya merasa tidak nyaman dengan kelakuan seseorang yang iya-tidak. Menggantung. Saya cuma butuh alasan kenapa dia seperti itu. Saya belum mau peduli lagi apakah dia “iya” atau “tidak”. Dia membuat saya bingung. Jadi mungkin, saya cuma butuh alasan atas semua sikapnya yang terlalu dinamis—berubah sewaktu-waktu.
Saya keluar dari etalase-etalase toko yang katanya menjual barang-barang serba ada. Nyatanya, sebotol alasan tidak ada yang menjualnya. Lalu saya sadar satu hal, kalau saya butuh alasan dari dia, itu artinya tidak ada orang lain yang menjualnya dalam bentuk apapun. Alasan itu bisa saya ambil cuma-cuma dari tangannya. Hanya saja, mungkin lebih baik saya pulang saja. Biar saya sakau sendirian di rumah sebagai manusia yang haus sebuah alasan. Saya tidak perlu meminta, kalau alasan itu memang ada, dia akan datang dengan sendirinya kepada saya. Biar saya sakau sambil menunggu.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan meninggalkan jejak :)

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com