Daun-daun berguguran, persis seperti butiran salju di buku-buku dongeng dan di film-film Barat. Kalau sudah begini, menikmati es teh manis dengan warna cokelat bening dan lelehan embun dingin di bagian luar gelas menjadi hal yang paling menggoda untukku.
Ingatkah kamu, ini sudah tahun kedua. Tepat tanggal 15 Januari komunikasi kita berakhir dengan sangat tragis. Kamu meneleponku tengah malam, satu jam penuh untuk menyanyikanku lagu-lagu patah hati dan mengutarakan semua keinginanmu tentang kelanjutan hubungan kita. Mengutarakan semua janji manismu yang masih kulumat, kusisakan rasa manisnya di lidah dan hatiku sampai sekarang. Janji tentang betapa kamu ingin hubungan kita kembali seperti dulu lagi tanpa ada orang ketiga, keempat, bahkan kelima.
Aku mengaduk tehku pelan-pelan, menciptakan tornado di dalam gelas agar gula-gula di dalamnya terlarut. Ini adalah seni menikmati pembuatan teh ala saya. Aduklah jangan terburu-buru agar teh yang mengisi gelasmu tak tumpah ke mana-mana.
Tidak seperti kamu. Kamu terlalu terburu-buru, Sayang. Kamu terburu-buru pergi menyia-nyiakan usahamu mendekatiku selama tujuh bulan. Ayolah, itu hanya orang ketiga, dan kamu langsung pergi. Aku tahu, kepergianmu bukan tanda untuk menyerah, tapi merelakan. Itu kan yang pernah kamu katakan berulang-ulang padaku, bahwa mencintai itu merelakan. Tapi bukan seperti itu juga yang aku harapkan. Bukan cara pergi seperti itu. Kamu melenggang bersama perempuan lain, memastikan padaku bahwa perasaanmu baik-baik saja. Buka begitu, aku tak ingin melihatmu baik-baik saja setelah meninggalkanku. Justru kebersamaanmu dengan perempuan itu—yang kau anggap sebagai pembuktian bahwa kamu baik-baik saja—yang membuatku sakit dan patah. Patah sepatah-patahnya hingga aku sulit merekonstruksi perasaanku lagi.
Lalu kukeluarkan semangkok balok-balok es batu dari lemari pendingin. Kutuangkan dua sendok penuh es batu untuk segelas es teh jumboku.
Mendadak otakku memutar kembali seluruh kejadian yang kita lewati bersama. Tawamu, khususnya. Ah, aku suka tawa manismu yang memperlihatkan kedua gigi gingsulmu yang manis. Lalu kegemaranmu menghiburku dengan sejuta kekonyolan perkataanmu. Caramu berjalan. Caramu menaiki motor. Caramu memberi perhatian padaku yang begitu pas—tak kurang, tak berlebihan. Semuanya.
Ini tahun kedua, Sayang.
Tahun kedua aku harus kehilangan kamu. Tahun kedua aku merasa semua potret kenangan yang kita lewati hanya sebatas dongeng sebelum tidur yang kamu bacakan untukku. Lalu aku bangun dan mendapati kamu sudah pergi dengan perempuan lain. Tahun kedua yang menyesakkan, menyadari kenyataan bahwa aku belum bisa melupakan kamu.
Dan aku selalu suka menikmati es teh seperti ini. Karena es teh adalah minuman yang selalu kamu tawarkan saat perasaan kacau menyergapku. Kamu bilang, “Es teh itu minuman sederhana yang bisa melarutkan penatmu”.
Aku terduduk di kursi teras. Menikmati gugur daun dan segelas es tehku yang memesona. Tadinya, aku berharap ini adalah segelas jumbo es teh manis. Tapi sepertinya sudah menjadi asin, ketumpahan air mataku sewaktu aku meraciknya di dapur sambil mengingatmu.
Dan daun masih terus berguguran menunggu musim datang mengganti. Mungkin seperti aku. Menunggu waktu untuk tak mengharapkanmu lagi.
4 komentar:
menohok sekali pus, tujuh bulan, melenggang bersama perempuan lain, patah sepatah-patahnya hingga aku sulit merekonstruksi perasaanku lagi uwooooo~
wkwkwk yang fiksi dari cerpen itu adalah sebenernya ini udah taun ketiga, dan bukan es teh kesukaannya :p
pus, ini cerita asli ya?
hmm, kombinasi :)
Posting Komentar
Silakan meninggalkan jejak :)