Kepada Maret.
Halo, Maret. Masih sebulan lagi. Tapi siang ini, aku sedang sangat mengingatmu.
Bagaimanapun, aku pernah begitu mencintaimu, Maret. Mencintai hari-hari yang tak lagi sebiasa hari-hari lain. Karena, seperti manusia-manusia lain, aku lebih menyukai pertemuan daripada perpisahan. Dan kamu, adalah pertemuan. Saat itu, rasanya kamu berhasil mengalahkan cinta setengah matiku pada November, bulan kelahiranku sendiri.
Tapi, Maret. Aku bahkan tak pernah tahu kapan sebenarnya kamu berakhir. Pada hari-hari di mana segalanya mulai dekat pada perpisahan, tak ada lagi angka pada kalender Maretku. Memudar. Semu. Lalu di situlah aku mulai menangis. Bayangkan, Maret. Aku seperti mengikuti lomba lari tanpa pesaing. Tapi kamu adalah jalan tak berujung. Sekeras apapun aku mencapai finish, batas itu tidak akan pernah ada sampai kaki-kakiku terasa patah mengejarmu.
Lalu aku berhenti, pada kenyataan yang sangat telak membunuh. Ya, aku berhenti begitu saja setelah tahu bahwa ternyata aku hanya menikmati hal-hal yang ada tanpa ada usaha untuk mempertahankannya apalagi memperjuangkannya. Bahwa aku mengikuti lomba lari yang bahkan tak pernah diadakan. Tanpa pesaing, tanpa pemenang. Aku pecundang.
Siang ini, sakitnya terasa lagi. Aku mencintaimu sebagai pertemuan. Sekaligus, aku membencimu yang tak pernah memberi aba-aba kapan masa manismu akan habis. Maret, aku begitu benci ketika aku harus memulai untuk membencimu.
Maret, kalau saja kamu tahu ada banyak sekali tanda tanya yang menggantung. Aku tidak pernah berfikir untuk menanyakannya padamu. Tanda tanya itu seperti ornament pohon Natal dalam kepalaku. Seiring berjalannya waktu, aku melepaskannya satu-satu. Kurapikan dalam keranjang rotan. Masih kubiarkan begitu saja di atas meja. Mungkin di suatu Maret yang akan datang, kamu bisa membantuku mengeja setiap jawaban yang aku perlu dari kepergianmu.
Bye, Maret.
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan meninggalkan jejak :)