Anakku, bagaimana kalau suatu saat aku mengirimkan angin untuk sekedar memberi kabar balasan akan bertahun lamanya penantianmu dan ibumu, dua malaikat tercintaku : bahwa aku telah karam bersama karang tempatmu menunggu ?
Sudah lama, aku tergabung dalam jutaan fosil laut yang tak pernah ditemu. Aku hancur, berkeping. Tertimbun dalam detik-detik yang masih kuingat betul, kualami adegan sendu seorang Jack kala Titanic yang ditumpanginya harus hancur. Bedanya, aku hanya menumpang pada perahu kecil rapuh, yang tak pernah sanggup menandingi sombong angin kala itu. Dan lagi, tak ada ibumu di sisiku.
Aku meronta hingga kehilangan suara. Ikan-ikan tangkapanku yang telah tertata manis dalam ember-ember besar untuk kubawa pulang, nahas ikut terseret ombak pasang. Aku tenggelam, aku tertelan sadisnya nasib yang harus membawaku pergi tanpa sempat berpamitan padamu, pada ibumu.
Anakku, melalui surat ini, terbalas sudah segala peluh yang kau sisikan pada tahun-tahun berlalu dalam penantianmu akan kedatanganku membawakan ikan-ikan laut untuk kita makan enak di bawah remang cahaya kesederhanaan.
Berhentilah, berhentilah menungguku.
Sampaikan pada ibumu, tak perlu lagi sibuk membenarkan kemeja saku. Rapikan saja kemeja-kemeja itu dalam tumpukan lemari paling bawah, pertanda mereka tak akan terpakai lagi oleh pemiliknya, yaitu aku.
Dari sisi Tuhan aku menulis ini, dengan sedu sedan yang berkepanjangan. Semoga kalian tak dirundung kesedihan.
*Surat Balasan Untuk Surat Cinta @MungareMike, “Variatio 23. a 2 Clav.”
2 komentar:
Manis. Manis. Manis.
iyalah. aku kan tukang jualan arumanis :)
Posting Komentar
Silakan meninggalkan jejak :)