Rabu, 23 Maret 2011

Kita Bukan Debu


source : Google


“Debu itu berampas”

Aku membelalakkan mataku untuk hal yang satu itu, perkataanmu yang sulit sekali dipahami. Aku masih memeluk boneka beruang cokelatku ketika aku berpikir, bukankah debu itu sangat kecil sekali sehingga nafasku yang tertatih pun mampu menerbangkannya dalam sekejap kalau aku ingin membuatnya jera karena membuatku bersin-bersin seperti knalpot bajaj ? Bagaimana bisa debu itu berampas ?

Lalu kamu menarik badanku berdiri dari kursi plastik kecilku, selangkah lebih maju sambil memegangi telapak tanganku. Kamu sapukan ujung jariku ke sepeda kayuh yang hampir tak pernah lagi kupakai. Ada segores abu-abu di sana.

“Ini debu” ujarmu.

Aku menganga lebar, entah menirukan gaya siapa. Kalau orang bilang, ini kaget. Seperti kaget ketika melihat hantu. Itu debu ? Apa benar ? Kenapa tak kalah pekat dengan warna-warni cat air dalam goresan kuas ?

“Bohong” tukasku. Ya, aku merasa dibohongi. Debu tampak begitu mandiri, kecil-kecil terbang ke sana kemari seperti yang kulihat ketika udara tersorot sinar matahari dari genting yang berlubang kecil. Debu itu menari begitu luwesnya, banyak sekali jumlahnya. Bukan yang begitu kasar dan tampak menjadi begitu besar seperti ini, senyata ini.

“Debu itu seperti manusia, seperti kamu. Sekarang kamu bisa bebas berlarian, bermain sampai badanmu bau matahari. Tapi akan ada saatnya nanti kamu akan tumbuh dewasa, capek bermain seharian. Kamu akan menemukan rumah baru tempatmu berdiam menikmati masa tuamu. Lalu kamu lupa bagaimana caranya untuk bisa bebas lagi di udara” paparmu sambil memeluk tubuh kecilku dari belakang, bahkan aku belum kunjung tinggi setinggi pinggulmu.

“Ayah…” kataku pelan sambil berusaha keluar dari pelukanmu. “Aku mau main”

Lalu aku berlalu pergi. Entahlah, terasa menyakitkan kalau harus tumbuh dewasa dan menjadi seperti debu. Aku ingin bermain sampai capek, aku ingin menelan banyak-banyak luka dan tangis gara-gara jatuh di aspal, aku ingin senyum-senyum sendiri sambil mendandani Barbie.

Ayah melihatku dari kejauhan. Tenanglah, Yah. Setua apapun aku nanti, aku akan tetap menjadi gadis kecilmu yang bahkan sedetikpun tidak akan kamu lihat ceriaku menua dan mengeriput. Aku akan tetap antusias menarik-narik tangan Ayah untuk bermain bersama.

Karena aku bukan debu. Ayah juga bukan debu. Dunia adalah untuk berlarian seperti anak-anak, untuk bersemangat.




*untuk Papa, yang tidak punya cukup waktu untuk menemaniku hingga punya anak-cucu. May you rest in peace, I do really love you…


2 komentar:

Anonim mengatakan...

woooww... keereeennn

Putripus mengatakan...

makasih anonymous :)

Posting Komentar

Silakan meninggalkan jejak :)

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com